Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi buka suara soal cerita eks Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo yang menyebut kepala negara memanggil Agus ke Istana untuk meminta kasus korupsi e-KTP yang menyeret nama Setya Novanto dihentikan. Jokowi mengklaim tidak ada agenda pertemuan dirinya dengan Agus pada 2017 silam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Enggak ada, enggak ada agenda, coba cek lagi aja,” katanya saat ditemui di Istana Negara, Jakarta, pada Senin, 4 Desember 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jokowi justru mempertanyakan motif Agus Rahardjo yang menyinggung soal Presiden mengintervensi KPK dalam mengusut kasus korupsi e-KTP. Pasalnya Jokowi mengaku, pada 2017 dirinya pernah menyampaikan bahwa Setya Novanto harus mengikuti proses hukum. Ia juga mengatakan proses hukum politikus Golkar tersebut juga terus berjalan dan mendapat vonis 15 tahun.
“Terus untuk apa diramaikan itu? kepentingan apa diramaikan itu? untuk kepentingan apa?” kata Jokowi saat ditemui di Istana Negara pada Senin, 4 Desember 2023.
Senada dengan Jokowi, sebelumnya Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengatakan pada 2017 tidak ada pertemuan antara Jokowi dengan Agus. "Setelah dicek, pertemuan yang diperbincangkan tersebut tidak ada dalam agenda presiden," katanya dalam pesan singkat pada Jumat, 1 Desember 2023.
Ari mengatakan proses hukum terhadap Setya Novanto terus berjalan pada 2017 dan sudah ada putusan hukum yg berkekuatan hukum tetap. Menurut Ari, presiden dalam pernyataan resmi pada 17 November 2017 dengan tegas meminta agar Setya Novanto mengikuti proses hukum di KPK, yang telah menetapkannya menjadi tersangka korupsi kasus KTP Elektronik. Presiden juga yakin proses hukum terus berjalan dengan baik.
"Perlu diperjelas bahwa Revisi UU KPK pada tahun 2019 itu inisiatif DPR, bukan inisiatif Pemerintah, dan terjadi dua tahun setelah penetapan tersangka Setya Novanto," kata Ari.
Baru-baru ini, Agus Rahardjo mengungkap bahwa KPK mulai diintervensi oleh pemerintah sejak kasus korupsi pengadaan e-KTP pada 2017 silam. Pada 2017, saat ia menjabat sebagai Ketua KPK periode 2015-2019, Agus mengatakan pernah dipanggil ke istana sendirian untuk menghadap Presiden Jokowi.
Pemanggilan itu dilakukan ketika lembaga yang dipimpinnya sedang membidik eks Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto dalam mega korupsi pengadaan e-KTP. Presiden Jokowi saat itu memanggil Agus untuk meminta agar tudingan ke Setya Novanto dihentikan.
"Saya masuk (ruangan) beliau (presiden) sudah teriak hentikan. Kan saya heran yang dihentikan apanya. Setelah saya duduk saya baru tahu kalau yang suruh dihentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov, Ketua DPR waktu itu mempunyai kasus e-KTP supaya tidak diteruskan," kata Agus.
Namun saat itu Agus Rahardjo tidak bisa mengabulkan perintah Jokowi karena dirinya sudah menandatangani surat perintah penyidikan (sprindik) penetapan tersangka kepada Setya Novanto. Sementara saat itu UU KPK itu belum memberlakukan adanya SP3 (Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan).
Hingga kemudian pemerintah melakukan revisi UU KPK yang disahkan dan diberlakukan, pada Jumat, 13 September 2019. Tiga pimpinan KPK saat itu yaitu Agus Rahardjo, Saut Situmorang dan Laode M. Syarif menyerahkan mandat pengelolaan Lembaga Antirasuah ke Presiden Jokowi. Sebelumnya, KPK berdiri independen dan hanya bertanggungjawab kepada masyarakat.
Agus menceritakan intervensi KPK ini saat membahas Firli Bahuri yang dijadikan tersangka pemerasan. Menurut Agus, Firli sudah cacat saat menjadi Deputi Penindakan KPK di era kepemimpinannya. Bahkan Agus sampai pernah membuat surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo agar tidak meloloskan Firli jadi Ketua KPK. Namun hal itu tidak digubris.
RIZKI DEWI AYU | DANIEL A. FAJRI