Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Masih banyak pekerjaan rumah yang menjadi tantangan dalam meningkatkan sumber daya bahasa Inggris di Indonesia. British Council bersama dengan mitra di Inggris Raya dan di Indonesia mengadakan program UK-ID English Digital Innovation Grant. Tujuannya adalah meningkatkan kualitas guru dengan sumber pembelajaran yang inovatif, khususnya berbasis digital.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melalui program-program yang telah dijalankan, ditemukan benang merah yang menjadi tantangannya, yakni minimnya antusiasme guru-guru dan keterbatasan pada akses serta kecakapan teknologi. Kisah-kisah itu dibagikan lewat diskusi dalam rangka Hari Guru Nasional. Empat di antara organisasi mitra menjabarkan hasil dari program-program UK-ID English Digital Innovation Grant itu pada Rabu, 8 November 2023 di Gran Mahakam Jakarta.
Ikhtiar meningkatkan kualitas guru di daerah 3T
Konsultan Program dari Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa Ghassani Mandasari menjelaskan mengenai program Nusantara-Go. Lewat program ini, mereka membuat sumber daya pembelajaran jarak jauh kepada guru-guru di daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar atau 3T. Ada sebanyak 584 penerima manfaat langsung yang dibimbing oleh 11 mentor lokal di 11 kawasan pedesaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Program berjalan pada rentang Mei 2022 sampai Maret 2023. Fokus utamanya adalah pada kemampuan digital dan komunikasi.
"Sumber daya yang dikembangkan berdasarkan framework dari guru penggerak dan British Council. Guru-guru yang menjadi beneficiaries kami, secara mandiri menyebarkan pengetahuan kepada komunitas di masing-masing daerah dan didukung oleh pemerintah daerah setempat," ujar Ghassani.
Minim antusiasme dan keterbatasan teknologi
Lain lagi dengan pengalaman Anuncius Gumawang Jati dari Indonesia Technology Enhanced Language Learning atau iTELL. Bekerja sama dengan mitra dari Inggris Raya, iTELL memulai programnya pada April 2022 dengan 315 guru yang terlibat selama 9 bulan.
"Yang selesai sampai 9 bulan itu 90-an. Yang lain kadang ikut, kadang tidak. Ada 1 bulan tidak ikut, bulan berikutnya nongol," kata Jati.
Pada programnya, terdapat 9 tutor dari berbagai daerah. Begitu pula dengan peserta, tersebar dari Aceh sampai Ambon. Program ini berjalan dengan 9 topik yang mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran. Platform yang digunakan, yakni Google Classroom, dengan alasan semua guru sudah familiar dengan itu. Namun untuk konsultasi harian lewat Telegram.
Pada minggu pertama, peserta mendapatkan materi dan mulai belajar mandiri. Pekan kedua, belajar bersama tutor dan praktik di sekolah pada pekan ketiga. Sedangkan pada pekan keempat, peserta akan berbagi mengenai apa yang telah dipraktikkan di kelas.
Tantangan yang dialami iTELL hampir serupa dengan apa yang ditemukan pada program Soe Teach Tech di Kota Soe, Nusa Tenggara Timur. Dian Toar selaku Direktur Kerja Sama Universitas Kristen Satya Wacana menyampaikan, program Soe Teach Tech dirancang untuk pengembangan kualitas guru bahasa Inggris di daerah timur.
Daerah Soe, kata Toar, masih tertinggal dibandingkan daerah bagian barat. Sebab, Soe minim sumber daya dan akses terhadap teknologi.
Berdasarkan analisis yang dilakukan, terdapat tiga hal yang dibutuhkan guru bahasa Inggris di Soe. Pertama, mereka perlu untuk bisa berbahasa Inggris di kelas dan cukup percaya diri dengan kemampuannya. Kedua, mengenai metodologi pengajaran bahasa Inggris. Ketiga, penggunaan teknologi digital.
"Tapi karena konteksnya yang masih sangat minim sumber daya, kami meminimalisir penggunaan teknologi yang berat. Kami menggunakan telegram karena ringan dan hanya berbasis teks. Bahkan ketika interaksi dengan guru, tidak harus ketik. Mereka bisa tulis di kertas, foto dan kirim," kata Toar.
Seminggu sekali, peserta juga bertatap muka via Zoom. Namun, Toar mengatakan bahwa metode tersebut tidak cukup efektif. Di tengah jalan, pelaksanaan program macet.
"Nah, kami berhentikan sebelum selesai. Rencananya kami itu ada, setiap program itu ada 10 minggu pertemuan. Tapi mandek, kami putuskan berhenti dan kita coba evaluasi lagi. Dan kami putuskan untuk melibatkan dinas pendidikan setempat," ujar Toar.
Setelah campur tangan dinas pendidikan setempat, program dilakukan ulang dengan mengevaluasi program sebelumnya. Jumlah pendaftar mencapai 200-an. Jika dulu program dilakukan setiap hari, dievaluasi bisa seminggu tiga kali. Dari segi materi pembelajaran juga disesuaikan agar lebih kontekstual dengan yang dibutuhkan para guru.
Yusuf Imam Sodikin dari Eduversal Indonesia menceritakan program yang mereka jalankan selama proyek UK-ID English Digital Innovation Grant juga mengalami tantangan serupa. Program mereka bernama Localized Content for Global Competence.
"Berdasarkan hasil observasi kami, ada tiga hal yang guru-guru kita perlukan. Manajemen kelas, pemanfaatan teknologi dalam kelas dan terakhir adalah tes asesmen. Dan itu sangat krusial sekali, apalagi dalam menjalankan pembelajaran daring yang sangat baru untuk guru-guru di Indonesia. Apalagi penggunaan teknologi di kelas," kata Yusuf.
Pertama, perihal manajemen kelas. Dalam kursus ini, guru-guru dibimbing bagaimana berkomunikasi dengan siswa dan memberikan motivasi. Kedua, menitikberatkan pada penggunaan teknologi digital dalam proses belajar mengajar di kelas. Ketiga adalah percobaan, asesmen dan evaluasi. Setiap kursus dijalankan selama tiga bulan. Eduversal Indonesia mengundang 18 guru sebagai peserta.
"Ternyata, tantangan yang kita rasakan sama yaitu excitement yang didapatkan guru-guru ketika awal kursus itu sangat besar. Tapi kemudian di minggu ketiga dan keempat agak menurun. Seperti yang kita ketahui, konsep kursus daring masih relatif baru untuk guru-guru, khususnya di Indonesia. Butuh waktu untuk adaptasi," kata Yusuf yang merupakan Head of Primary English Department Eduversal Indonesia.
Hal ini juga tak terlepas dari mayoritas guru-guru peserta kursus ditugaskan ikut oleh kepala sekolah. Akibatnya, kata Yusuf, pelaksanaan tidak 100 persen efektif. Sebagai solusi, tim pun memperketat lewat sistem seleksi. Calon peserta akan melalui beberapa tahap seperti seleksi dokumen, wawancara dan tanda tangan kontrak.
"Sehingga level of engagement-nya jauh lebih baik lagi. Mungkin mereka sudah merasa harus bertanggung jawab di proyek ini," kata Yusuf.
UK-ID English Digital Innovation Grant merupakan salah satu program dari British Council. Program ini fokus meningkatkan sumber daya perkembangan profesional untuk guru Bahasa Inggris di Indonesia. Dari peningkatan kualitas guru, diharapkan dapat meningkatkan pulakualitas pendidikan untuk semua pelajar Indonesia, terutama melalui digital kreatif.