Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Solusi Menghentikan Persekusi dan Diskriminasi Jemaat Ahmadiyah

Di Hari Toleransi Sedunia 16 November 2024, jemaat Ahmadiyah masih terdiskriminasi. Tersudut fatwa MUI dan SKB tiga menteri.

16 November 2024 | 12.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pengikut Ahmadiyah berulang kali mendapat intimidasi dan persekusi fisik.

  • Setara Institute mengusulkan pencabutan produk hukum yang diskriminatif.

  • Ada upaya Kementerian Agama merevisi SKB tiga menteri yang berisi larangan bagi Ahmadiyah.

TATAPAN waspada terlihat dari mata sejumlah perempuan yang duduk meriung di teras rumah di Kampung Nyalindung di Desa Ngamplang, Kabupaten Garut, Jawa Barat, ketika wartawan Tempo berkunjung ke sana pada 7 November 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) itu terus mengawasi ketika Tempo mendekati masjid berukuran 9 x 10 meter persegi yang terlihat belum rampung pembangunannya. "Kalau ada saya, tidak akan ada apa-apa. Tenang saja, kang," kata Sudrajat, perangkat Desa Ngamplang, yang menemani Tempo ke Kampung Nyalindung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perkampungan Nyalindung persis berada di bawah Jalan Raya Garut-Tasikmalaya. Di sini terdapat 80 keluarga pengikut Ahmadiyah. Mereka tersebar di dua rukun tetangga (RT). Mereka tak ingat lagi Indonesia memiliki toleransi beragama dan dunia merayakan Hari Toleransi setiap 16 November 2024.

Ketua Rukun Warga setempat, Ali Nugraha, mengatakan kondisi psikologi warganya yang menjadi jemaat Ahmadiyah cukup tertekan sejak penyegelan masjid mereka pada 2 Juli 2024. Pemerintah daerah setempat yang menyegelnya dengan alasan tak berizin. "Warga Ahmadiyah di bawah ini menjerit. Harta tidak punya, mau ibadah masjidnya dirampas. Psikologi mereka tertekan," kata Ali, Kamis, 7 November 2024.

Penyegelan terhadap masjid Ahmadiyah di Kampung Nyalindung sudah berulang kali terjadi. Penyegelan pertama pada 2021. Saat itu, Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan dalam Masyarakat (Pakem) Kabupaten Garut yang menyegelnya. Tim koordinasi ini terdiri atas beberapa instansi, antara lain Kejaksaan Negeri Garut, Kepolisian Resor Garut, Komando Distrik Militer 0611/Garut, Kementerian Agama, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Pemerintah Garut, Satuan Polisi Pamong Praja, Majelis Ulama Indonesia (MUI), serta Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

Bangunan masjid yang disegel tersebut tidak menyerupai masjid pada umumnya. Bangunannya tanpa menara ataupun kubah di bagian atap. Dinding batu bata bangunan luar belum dilapisi semen. Besi beton penyangga bangunan terlihat menjulur dan belum dirapikan. Pintu masuk masjid berupa papan kayu usang. Kusen jendelanya ditutupi dengan terpal plastik berwarna hijau.

Dari balik jendela, bagian dalam masjid terlihat bersih dan tertata rapi. Setidaknya terdapat tiga baris karpet di bagian depan untuk tempat salat, yang terhampar di atas keramik putih. Tidak diketahui apakah masjid ini digunakan kembali oleh warga Ahmadiyah setelah penyegelan. Namun, saat azan zuhur berkumandang pada Kamis siang pekan lalu itu, tidak ada warga yang datang melaksanakan salat.

Menurut Ali, sejak penyegelan masjid, warga Kampung Nyalindung menjadi kurang nyaman terhadap orang asing. Meski begitu, situasi Nyalindung tetap kondusif. 

Warga Ahmadiyah sudah bermukim di kampung itu sejak 1980-an. Mereka menjalin interaksi yang baik dengan warga lain di luar pengikut Ahmadiyah. "Terkadang saya juga sulit membedakan mana warga Ahmadiyah dan mana yang bukan karena di kampung ini hampir kebanyakan memiliki hubungan keluarga," kata Ali. 

Ia mengatakan, dalam satu keluarga terkadang sudah bercampur antara pengikut Ahmadiyah dan bukan. Misalnya, suaminya adalah anggota Ahmadiyah, tapi istri atau orang tuanya bukan pengikut kelompok mereka. "Jadi, sebetulnya warga kami ini rukun. Kalaupun ada yang menentang, itu pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab," katanya.

Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Garut Jaya P. Sitompul mengatakan penyegelan masjid Ahmadiyah itu dilaksanakan oleh Satpol Pamong Praja dan Tim Pakem. Dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo pada 6 Juli 2024, Jaya menyebutkan penyegelan itu sebagai “kegiatan pengawasan dan pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama”.

Ia menyebutkan sejumlah aturan yang menjadi dasar penyegelan. Di antaranya, Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia. SKB tiga menteri itu berisi larangan bagi pengikut Ahmadiyah untuk menyebarkan agamanya ataupun melakukan kegiatan keagamaan.

Selanjutnya, Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat. Peraturan gubernur ini berisi larangan bagi penganut, anggota, dan atau pengurus Ahmadiyah melakukan aktivitas atau kegiatan dalam bentuk apa pun yang berkaitan dengan kegiatan penyebaran penafsiran.

Anggota pengurus JAI Kabupaten Garut, Cecep Ahmad Santosa, mengatakan kondisi anggotanya di Kampung Nyalindung dalam keadaan aman dan tak ada intimidasi setelah penyegelan masjid. Namun, kata dia, banyak pengikut Ahmadiyah di sana yang memilih melaksanakan ibadah di rumah. "Kami menghindari konflik, jadi di rumah saja," kata Cecep, Kamis, 7 November 2024.

Ia menjelaskan, penyegelan masjid Ahmadiyah di Kampung Nyalindung sudah berulang kali terjadi. Ia mengatakan Satpol PP pertama kali menyegel masjid tersebut di awal pembangunnya pada 2021. Sejak saat itu masjid tak pernah dipakai hingga pembangunannya dilanjutkan pada akhir 2023. Pada akhir tahun itu, pengikut Ahmadiyah di Kampung Nyalindung baru bisa memakai masjid untuk beribadah. “Setelah itu, berhenti lagi karena ada pelarangan,” ujar Cecep.

Plang segel di depan Masjid Al Hidayah dan area milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Sawangan, Depok, Jawa Barat. Foto: TEMPO/Ricky Juliansyah

Nasib Ahmadiyah di Kampung Nyalindung mewakili sebagian besar anggota JAI yang tersebar di 38 provinsi di Indonesia. Mereka rata-rata hidup di tengah intimidasi dan diskriminasi. Misalnya, pengikut Ahmadiyah di Kelurahan Sawangan Baru, Depok, Jawa Barat, berulang kali mendapat intimidasi.

Masjid Al Hidayah milik Ahmadiyah di Sawangan Baru telah disegel sejak 2011. Di gerbang masuk terpampang plang segel bertulisan “Kegiatan Ini Dihentikan/Disegel'. Di bawah tulisan itu dijelaskan tiga dasar penyegelan, yaitu SKB tiga menteri, Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat, serta Peraturan Wali Kota Depok Nomor 9 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Depok.

Anggota pengurus JAI cabang Depok, Suwandi, mengatakan jemaat Ahmadiyah rutin mengadakan kegiatan di luar masjid. Mereka juga sempat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung pada 2022, tapi mereka kalah di pengadilan. Meski begitu, mereka tetap dibolehkan berkegiatan selama tak melakukan syiar. "Jadi kami jumatan, pengajian, itu sekarang di dalam (masjid)," kata Suwandi, Senin, 7 Oktober 2024.

Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Depok Lienda Ratnanurdianny mengatakan penyegelan dilakukan untuk melarang penyebaran ajaran Ahmadiyah. Ia berdalih penyegelan itu bukan berarti larangan beribadah. "Tapi yang harus disegel itu suatu peringatan bahwa yang dilarang adalah melakukan kegiatan penyebaran paham-paham yang memang di luar pokok-pokok agama Islam," kata Lienda, Jumat, 1 November 2024. 

Selain menyegel, mantan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Depok ini mengatakan pemerintah juga terus mengawasi kegiatan Ahmadiyah di Depok.

Petugas Satpol PP memperbaiki plang kampus Mubarak milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) setelah penyerbuan oleh ribuan warga dari kawasan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 15 Juli 2005. Dok.TEMPO/Arie Basuki 

Pemicu berbagai intimidasi dan diskriminasi terhadap pengikut Ahmadiyah berawal dari tudingan bahwa paham mereka menyimpang dari ajaran Islam. Ahmadiyah berdiri pada 23 Maret 1889 di Qadian, India. Pendirinya adalah Mirza Ghulam Ahmad.

Awalnya, Mirza mengaku sebagai mujaddid atau pembaru. Namun Mirza lantas mengumumkan dirinya sebagai al-Mahdi al-Mau’ud atau Imam Mahdi yang dijanjikan, serta mengaku sebagai nabi dan rasul. Di titik inilah ajaran Ahmadiyah dianggap menyimpang. Dalam ajaran Islam, Nabi Muhammad SAW diyakini sebagai nabi dan rasul terakhir.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) merespons berbagai penolakan masyarakat terhadap Ahmadiyah di Indonesia dengan menerbitkan fatwa saat Musyawarah Nasional II di Jakarta pada 1980. MUI lantas mengeluarkan fatwa yang makin tegas pada 28 Juli 2005. MUI menyatakan aliran Ahmadiyah berada di luar Islam serta sesat dan menyesatkan. MUI juga menyatakan pemerintah berkewajiban melarang penyebaran paham Ahmadiyah di seluruh Indonesia, membekukan organisasi, dan menutup semua tempat kegiatannya. 

Pengikut Ahmadiyah makin terjepit ketika pemerintah menerbitkan SKB tiga menteri tentang Ahmadiyah pada 2008. SKB yang diteken oleh Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri itu memerintahkan Ahmadiyah menghentikan kegiatan.

Penyebaran ajaran Ahmadiyah di Indonesia berawal di Tapaktuan, Aceh, pada 1925. Mereka memperluas pengikut hingga ke berbagai wilayah di Sumatera hingga ke Jawa. Ahmadiyah menghelat konferensi pertama dengan mendirikan struktur organisasi pada 1935. Awalnya, mereka hidup secara damai dengan warga yang bukan pengikut Ahmadiyah.

Meski hidup di tengah intimidasi, pengikut Ahmadiyah terus bertambah. Saat ini pengikut Ahmadiyah di Indonesia diperkirakan mencapai 600 ribu orang. Mereka tersebar di 192 kabupaten-kota. Jawa Barat menjadi basis terbesar Ahmadiyah. 

Sebagian dari mereka hidup diselimuti ketakutan dan terusir dari kampung halamannya. Misalnya, 17 keluarga di Sambielen, Lombok, Nusa Tenggara Barat, terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya akibat massa merusak rumah-rumah mereka pada 22 Juni 2001. 

Penyerangan terhadap pengikut Ahmadiyah juga terjadi di Desa Manis Lor, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, pada 27 Juli 2010. Massa menuntut permukiman dan tempat ibadah Ahmadiyah di Manis Lor ditutup. Selanjutnya, kekerasan berdarah terjadi terhadap jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, pada 6 Februari 2011. Saat itu, massa menyerang anggota Ahmadiyah di Desa Umbulan, Cikeusik. Enam anggota Ahmadiyah meninggal dalam peristiwa tersebut.

Jemaat Ahmadiyah beraktivitas di Masjid Al Hidayah milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Sawangan, Depok, Jawa Barat, 1 November 2024. TEMPO/Ricky Juliansyah

Tiga Solusi Mencegah Persekusi Ahmadiyah

Setara Institute—organisasi nonpemerintah di bidang hak asasi manusia—mencatat jemaat Ahmadiyah menjadi kelompok minoritas yang mengalami peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan paling banyak di Indonesia. Selama 2007-2020, terdapat 570 peristiwa kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah. 

Peneliti dari Setara Institute, Ikhsan Yosarie, mengatakan keberadaan SKB tiga menteri yang terbit pada 2008 telah melanggengkan intoleransi terhadap pengikut Ahmadiyah. “Padahal di masa sebelumnya, relasi JAI dan umat beragama, serta masyarakat sekitar sangat harmonis,” kata Ikhsan, Ahad, 3 November 2024. 

Ia berpendapat keberadaan fatwa MUI yang terbit pada 2005 juga menimbulkan ketidakpastian hukum yang berakibat timbulnya perlakukan diskriminasi terhadap pengikut Ahmadiyah.

Menurut Ikhsan, solusi mengatasi berbagai bentuk diskriminasi agama adalah mencabut semua produk hukum yang diskriminatif. Ia menekankan pengambilan kebijakan dan pembuatan produk hukum tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Produk hukum dan kebijakan pemerintah harus selalu berpegang pada prinsip kebebasan beragama serta nilai-nilai hak asasi manusia.

Amir Nasional JAI Mirajuddin Syahid tidak mempermasalahkan polemik Ahmadiyah di masyarakat. “Masyarakat tidak salah, misalnya, tidak suka dengan Ahmadiyah atau bahkan membenci karena salah informasi. Ini yang menyebabkan orang akhirnya anti dengan Ahmadiyah,” kata Mirajuddin saat ditemui di Cilandak Timur, Jakarta Selatan, pada 25 September 2024.

Ia menilai masyarakat terpengaruh kabar bohong tentang Ahmadiyah sehingga berbuat intoleran. Di samping itu, kata Mirajuddin, masyarakat memanfaatkan fatwa MUI 2005 yang menyatakan Ahmadiyah adalah sesat dan keluar dari agama Islam. “Tapi mereka (masyarakat) sendiri enggak tahu apa isi fatwa itu, penjelasaannya di sisi apa,” katanya. 

Kepala Subdirektorat Bina Paham Keagamaan Islam dan Penanganan Konflik Direktorat Jenderal Pembinaan Masyarakat Islam Kementerian Agama, Dedi Slamet Riyadi, tak bersedia menanggapi pendapat bahwa SKB tiga menteri dan fatwa MUI yang menjadi pemicu sikap intoleran serta diskriminasi terhadap Ahmadiyah. Ia hanya menjelaskan bahwa ada perbedaan pendapat di masyarakat dalam menilai Ahmadiyah. “Masyarakat menganggap Ahmadiyah ini tidak bisa dianggap sama dengan komunitas muslim yang lain,” kata Dedi di Jakarta Pusat, Selasa, 5 November 2024. 

Dedi mengaku hingga saat ini pihaknya belum menemukan titik temu yang sesuai untuk mengatasi polemik perihal keberadaan Ahmadiyah. Ia mengatakan Kementerian Agama akan mengusulkan revisi SKB 3 menteri tentang Ahmadiyah. Tapi rencana itu belum terwujud karena ketiga menteri belum duduk bersama untuk membahasnya. “Belum ada langkah ke arah sana (untuk) mempertemukan tiga institusi itu,” ujar Dedi.

Menurut Dedi, selama SKB tiga menteri tersebut masih berlaku, Ahmadiyah tetap dilarang menyebarkan ajarannya kepada masyarakat di luar kelompoknya. 

Meski ada larangan, Dedi juga tetap berkomunikasi dengan pengurus Ahmadiyah. “Saya belum lama ini ke Parung. Kami mengobrol dengan pengurus Ahmadiyah agar mereka menahan diri untuk tidak menyebarkan (ajaran) di luar kelompoknya,” kata dia. Ia juga mengimbau agar komunitas lain menghormati perbedaan pendapat tentang Ahmadiyah.

MUI juga menawarkan tiga solusi untuk mengatasi polemik Ahmadiyah ini. Anggota Komisi Fatwa MUI, Aminudin Yakub, menyebutkan ketiga solusi adalah pertama, MUI mengimbau JAI kembali pada ajaran Islam yang fundamental dan meninggalkan ajaran Mirza Ghulam Ahmad. Kedua, jika tetap menganut ajaran Mirza Ghulam Ahmad, Ahmadiyah tidak boleh mendeklarasikan sebagai bagian dari Islam. Aminudin menyarankan JAI menjadi kelompok agama tersendiri yang tidak bercampur dengan Islam. Solusi ketiga, MUI menganjurkan pembubaran Ahmadiyah agar tidak dinilai menistakan agama Islam. 

Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Cholil Nafis mengingatkan masyarakat agar tidak melakukan tindakan diskriminasi dan intoleran terhadap pengikut Ahmadiyah. Cholil berharap tidak ada lagi persekusi fisik terhadap anggota JAI. 

Meski begitu, Cholil menegaskan peluang mengubah atau mencabut produk hukum yang melarang Ahmadiyah di Indonesia sangat kecil. “Kami selalu berharap kawan-kawan JAI bisa kembali ke jalan yang benar,” katanya.

Komisioner Komisi Nasional Perempuan, Alimatul Qibtiyah, menceritakan pengalamannya ketika menghadiri pertemuan tahunan Ahmadiyah atau Jalsah Salanah di London, Inggris, pada Juli 2024. Ia bercerita apa yang dilakukan jemaat Ahmadiyah di Jalsah Salanah serupa dengan kegiatan beribadah umat muslim di Tanah Air. Mereka juga bersosialisasi dengan baik dan berusaha membangun relasi sosial dengan kelompok agama lain. 

Alimatul menyebutkan hak-hak kelompok non-Ahmadiyah yang hadir dalam Jalsah Salanah dijunjung tinggi sehingga ia mengimbau publik tak selalu mempersepsi Ahmadiyah dalam pandangan yang negatif. “Istilahnya, kenali mereka. Jangan hanya katanya karena fakta yang saya lihat mereka menghormati hak-hak umat beragama lain,” ujar Alimatul.

Dosen pemikiran politik Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Siti Musdah Mulia, mengatakan melihat Ahmadiyah harus dibangun dari konsep pemahaman keberagaman interpretasi agama. “Nah, ini yang enggak dibangun dalam diri kita bahwa dalam agama mana pun tidak pernah ada interpretasi tunggal,” kata Musdah di kediaman pribadinya di Jakarta Pusat, Kamis, 20 Oktober 2024.

Musdah tidak mempermasalahkan pemahaman Ahmadiyah yang memiliki interpretasi berbeda dengan mayoritas kelompok muslim. “Itu tidak melanggar hukum. Perbedaan interpretasi tidak boleh dianggap sebagai sebuah pelanggaran,” katanya.

Ia juga menceritakan kedekatannya dengan Ahmadiyah sejak 2000. Saat penyerangan ke pengikut Ahmadiyah di Parung, Bogor, Jawa Barat, pada 2005, Musdah sedang berada di dalam masjid bersama pengurus JAI. “Waktu itu saya disuruh keluar lewat pintu belakang, tapi saya tidak mau. Saya akan terus bersama mereka,” katanya.

Menurut Musdah, perbedaan Ahmadiyah dengan pandangan kelompok Islam lain hanya dalam hierarki keagamaan. Saat ini, Ahmadiyah dipimpin khalifah yang saat ini dipegang oleh Mirza Masroor.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Advist Khorunikmah, Andi Adam Faturahman, Sigit Zulmunir dari Garut, dan Ricky Juliansyah dari Depok berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Artikel ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung oleh International Media Support

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus