Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisah I La Galigo dimulai dari Botting Langi-negeri khayangan-asal-muasal Batara Guru. Dengan berat hati, ia menjalani upacara dan segala persiapan untuk turun ke bumi. Batara Guru diutus oleh ayahnya, Datu Patotoe, untuk mengisi kekosongan bumi pertiwi. Episode turunnya Batara Guru ke bumi ini diceritakan dalam Pentas Evaluasi Karya Naskah Terpanjang Dunia, I La Galigo, oleh mahasiswa Universitas Hasanuddin, di Baruga A.P. Pettarani, Makassar, Senin pekan lalu.
Batara Guru, yang diperankan Andi Riandika, selama tiga bulan hidup menyendiri di bumi. Untuk menemani Batara Guru, diturunkan tujuh orok dan inang pengasuhnya. Lalu ia diminta oleh ayahnya untuk mengunjungi perairan yang luas. Di sana, Batara Guru melihat perempuan cantik tengah menari-nari. Dia heran, lantas mendekat. Perempuan itu adalah We Nyili Timo (diperankan Elivia Wandani), anak dari Guru Riselle dan Sinaung Todja. Batara Guru jatuh hati dan mereka pun beradu kasih.
Pesta pernikahan digelar, dan tibalah masa We Nyili Timo mengandung dan mengidam. Saat mendekati waktu melahirkan, timbul kekhawatiran Batara Guru akan keselamatan bayinya. We Nyili Timo kesusahan saat melahirkan. Untuk memudahkan proses kelahiran, diadakan upacara, seperti mengurbankan kerbau cemara dan bissu-pendeta adat Bugis.
Setelah melewati masa-masa sulit, lahirlah Batara Lattu. Dia tumbuh menjadi anak yang berbakti dan senang bermain dengan teman-teman sebayanya. Dalam pementasan, Batara Lattu bersama teman-temannya menari gandrang bulo-tarian khas Bugis-Makassar yang biasanya dibawakan anak-anak secara jenaka. Mereka secara bergiliran melompati tubuh temannya yang membungkuk.
Pementasan berdurasi 120 menit ini dimainkan oleh 110 pemain, termasuk pemusik. Pertunjukan ini didasarkan pada naskah I La Galigo jilid I, dari episode turunnya Batara Guru, kejadian di Tompo Tikka, berlayarnya Batara Lattu ke Tompo Tikka, dilamarnya We Datu Sengeng, pernikahan I La Jirau, meninggalnya We Tenri Jellok dan La Tenrigiling, kembalinya Batara Lattu ke negerinya, hingga mimpi We Datu Sengen.
Pertunjukannya lambat namun detail, sehingga berhasil menggiring emosi penonton. Penataan cahaya dan musik pun dapat menyentuh perasaan penonton. Alat musik tradisional berpadu dengan orkestra dan melahirkan jenis musik epic soundtrack. Sebagian besar pesan disampaikan dengan gerakan. Hanya ada sedikit dialog, itu pun disampaikan seperti bernyanyi.
Pengajar di Fakultas Sastra Unhas, St Nursaadah, mengaku puas akan pertunjukan mahasiswanya. "Saya merasakan bahwa Anda bercerita kepada saya," ujar dia di hadapan para pemain selepas pertunjukan. Menurut dia, pencak silat, gandrang bulo, dan debus, adalah permainan rakyat yang dapat mewakili cerita.
Budayawan yang juga pengajar di Fakultas Sastra Unhas, Profesor Nurhayati Rahman, mengatakan pementasan ini adalah tontonan yang mengasyikkan. "Sorensen adalah sutradara yang kreatif. Tidak ada adegan yang diulang," ucap dia. Dia mengaku menyukai gerakan pencak silatnya. "Kalau bisa gerakan pencak silatnya diperdalam lagi, agar ditampilkan sebagai seni, bukan adegan."
Agar tontonan dapat menghibur secara konsisten, Nurhayati menyarankan durasi dikurangi. Adegan yang panjang bisa dipersingkat, misalnya, adegan melahirkan. Agar penonton mendapatkan suguhan khas Sulawesi Selatan secara utuh, nuansa kedaerahan dalam musiknya dapat diperkuat dengan menyelipkan lirik lagu berbahasa daerah.
Sutradara pementasan, Sorensen Rambu Langi', mengatakan proses pementasan ini mulai digarap 15 Maret lalu, di mana tim produksi I La Galigo langsung dinaungi oleh Bidang Kemahasiswaan Unhas. Tim produksi pementasan I La Galigo ini dibimbing sembilan pengajar Unhas. Mereka di antaranya Profesor Dadang Ahmad Suriamiharja, Andi Suriadi Mappangara, Profesor Nurhayati Rahman, Alwy Rachman, dan St Nursaadah.
Khusus penggarapan naskah sendiri dilakukan selama satu setengah bulan. Sebelum pementasan, Mei lalu, digelar seminar dengan tema yang sama. Setelah pentas evaluasi ini, Sorensen mempersiapkan pentas uji coba di ruang publik Makassar, akhir September mendatang. "Dalam pentas uji coba nanti, kami bakal mementaskan naskah La Galigo jilid kedua," ujar Soren, sapaan akrab Sorensen.
Selanjutnya, mereka akan terbang ke Jakarta, November, untuk pementasan seluruh naskah I La Galigo yang terdiri atas 12 jilid. Rencananya, Desember 2014-Januari 2015, mereka berpentas di Jerman. "Pementasan ini adalah bagian dari misi kebudayaan, kemanusian, dan perdamaian dunia," tutur Soren. REZKI ALVIONITASARI
Agenda Komunitas
Binne Makassar 2014, Group & Solo Art Exhibition
English Class
Klub Puisi
Kelas Penyiaran
Pameran Pembangunan dan Dokumentasi
Bazar Makanan Alumni Muhammadiyah
Makassar Berlibur "Cangke Island"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo