Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Solidaritas anggota TNI tidak dapat dilegitimasi sebagai pembenaran melakukan kekerasan.
Koalisi Sipil mendesak TNI menindak tegas tentara yang terlibat penyerangan agar kasus serupa tak terulang.
Yang mendesak direvisi adalah Undang-Undang Peradilan Militer, bukan Undang-Undang TNI.
INSIDEN serangan oleh serdadu Batalyon Artileri Medan 2/105 Kilap Sumagan, Komando Daerah Militer I/Bukit Barisan, terhadap warga Desa Selamat di Deli Serdang, Sumatera Utara, menambah panjang daftar kasus kekerasan oleh tentara. Sejumlah lembaga koalisi masyarakat sipil mengecam tindakan tersebut dan mendesak dilakukannya reformasi peradilan terhadap TNI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Ardi Manto, mengatakan aksi penyerangan itu menunjukkan masih kuatnya arogansi dan kesewenang-wenangan tentara terhadap masyarakat sipil. Menurut dia, hal itu diperkuat dengan belum adanya keinginan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai legislator untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. “Sistem peradilan militer yang berjalan selama ini tidak urung menjadi sarana impunitas bagi anggota TNI yang diduga melakukan kekerasan,” ujar Ardi saat dihubungi pada Ahad, 17 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana persemayaman korban keributan antara oknum TNI AD dan warga Deli Serdang di Dusun IV Cinta Adil, Desa Selamat, Kecamatan Biru-Biru, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, 10 November 2024. Dokumentasi Pendam I/BB
Ardi menjelaskan, reformasi terhadap sistem peradilan militer sejatinya menjadi mandat dari Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dia mengatakan, misalnya, Pasal 65 ayat (2) regulasi itu menyebutkan, “Prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer, dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.”
Menurut Ardi, penyerangan serdadu terhadap warga di Deli Serdang harus diproses dan diadili melalui peradilan umum, bukan peradilan militer. “Agar mata rantai arogansi dan sewenang-wenang itu terputus,” ujar Wakil Direktur Imparsial tersebut.
Koalisi mendesak TNI menindak tegas mereka yang diduga terlibat dan tidak melanggengkan impunitas terhadap anggotanya yang terbukti bersalah agar kasus serupa tak terulang. Sebab, ada puluhan kasus kekerasan militer terhadap sipil pada 2024 dan tahun-tahun sebelumnya.
Imparsial, lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada isu militer dan hak asasi, mencatat setidaknya terdapat 25 kasus kekerasan serdadu terhadap masyarakat sipil sejak Januari hingga November 2024. Data lain dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menunjukkan ada 64 kasus sejak Oktober 2023 hingga September 2024 dengan 75 korban luka dan 18 korban meninggal.
Kecenderungan itu tak hanya terjadi kali ini, tapi juga dalam beberapa kasus sebelumnya. Misalnya kasus penyerangan dan pembakaran Kepolisian Sektor Ciracas, Jakarta Timur, pada 2018 dan 2020. Insiden pada 2018 mengakibatkan 16 mobil rusak dan melukai empat polisi. Adapun dalam insiden perusakan di tempat yang sama pada 2020, enam dari 100 orang yang diduga terlibat dalam perusakan Polsek Ciracas dan fasilitas umum diperiksa intensif oleh Polisi Militer Kodam Jayakarta. Insiden penyerangan dan penembakan juga terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Maret 2013. Insiden penembakan di Cebongan menyebabkan empat orang tewas.
Insiden penyerangan terhadap warga sipil oleh tentara di Deli Serdang terjadi pada Jumat, 8 November 2024. Sekitar 50 tentara disebut menyerang warga Desa Selamat di Deli Serdang. Insiden itu mengakibatkan seorang warga desa tewas dan belasan orang lainnya mengalami luka-luka.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, berdasarkan informasi yang diperoleh jaringan koalisi di lapangan, penyerangan tentara terhadap warga berawal dari perselisihan antara seorang warga desa dan tentara dari batalyon artileri medan tersebut. Namun, kata Isnur, militer menyikapi perselisihan itu dengan menyerang warga hingga mengakibatkan jatuhnya korban luka-luka dan meninggal. “Aksi brutal ini kekeliruan terhadap solidaritas korps atau jiwa korsa yang tertanam di tubuh anggota TNI,” ujarnya.
Menurut Isnur, solidaritas merupakan hal yang baik. Namun solidaritas atau jiwa korsa yang dimiliki anggota TNI tidak dapat dilegitimasi sebagai pembenar dalam melakukan kekerasan, terutama terhadap masyarakat sipil. YLBHI sebagai anggota Koalisi mendesak Markas Besar TNI dan Pusat Polisi Militer mengadili puluhan serdadu yang diduga terlibat dalam penyerangan warga di Deli Serdang dengan proses yang transparan dan akuntabel. “Kami juga mendesak DPR merevisi Undang-Undang Peradilan Militer,” ujar Isnur.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur. Dok Tempo/Rio Maldini Burhan Nibras
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies, Khairul Fahmi, menuturkan pendapat yang sama dengan Koalisi ihwal urgensi revisi Undang-Undang Peradilan Militer. Menurut dia, TNI akan terus memiliki sikap superior dan impulsif selama tidak dilakukan perubahan terhadap regulasi yang berlandaskan asas keadilan. “Ini yang lebih urgensi untuk dibahas dan direvisi oleh pemerintah dan DPR ketimbang revisi terhadap Undang-Undang TNI,” ujar Khairul saat dihubungi secara terpisah, kemarin.
Khairul menuturkan, desakan Koalisi agar proses hukum terhadap tentara yang diduga terlibat dalam penyerangan warga di Deli Serdang diadili melalui peradilan umum tidak akan terwujud selama tak ada aturan perubahan terhadap Undang-Undang Peradilan Militer. Dia menjelaskan, menurut Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang TNI, tentara harus tunduk pada kekuasaan peradilan dalam pelanggaran hukumnya. Namun, Pasal 74 Undang-Undang TNI menyebutkan Pasal 65 dapat diterapkan apabila terdapat ketentuan baru pada Undang-Undang Peradilan Militer. “Selama tidak ada perubahan, peradilan militer akan terus digunakan TNI dalam menangani kasus,” ujar Khairul.
Pengamat militer Beni Sukadis mengatakan revisi Undang-Undang Peradilan Militer menjadi hal penting dalam memutus superioritas, impulsivitas, dan pemaknaan jiwa korsa yang keliru di lingkup internal TNI. Menurut peneliti senior Marapi Consulting ini, dalam konteks insiden di Deli Serdang, seharusnya kasus tersebut masuk yurisdiksi pidana umum. Sebab, tindakan yang dilakukan tentara di luar tugas kemiliteran.
Hanya masalahnya, kata Beni, niat pemerintah dan DPR dalam merevisi Undang-Undang Peradilan Militer belum tampak. Padahal usia Undang-Undang Peradilan Militer sudah hampir menyentuh dua dekade, sehingga diperlukan pembaruan berdasarkan asas penegakan hukum yang berkeadilan. Beni menilai, jika pemerintah serius dalam penegakan hukum di lingkup internal militer, seharusnya yang diajukan untuk dibahas ke DPR adalah revisi terhadap Undang-Undang Peradilan Militer, bukan Undang-Undang TNI.
Tempo sudah menghubungi untuk meminta tanggapan dan konfirmasi kepada sejumlah anggota Komisi I DPR Bidang Pertahanan, seperti TB. Hasanuddin, Nurul Arifin, dan Sukamta. Tempo menanyakan ihwal peluang pembahasan revisi Undang-Undang Peradilan Militer oleh DPR periode 2024-2029. Namun, hingga berita ini ditulis, pesan berupa pertanyaan yang dikirim melalui masing-masing nomor aplikasi perpesanan WhatsApp hanya menunjukkan notifikasi dua centang abu alias terkirim.
Pada Maret 2024, anggota Komisi I DPR periode 2019-2024, Bobby Adhityo Rezaldy, mengatakan DPR menunggu inisiatif pemerintah ihwal revisi Undang-Undang Peradilan Militer. Alasannya, selain belum masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), regulasi peradilan militer belum pernah menjadi inisiatif DPR. “Sepanjang sejarah, regulasi kepolisian dan militer itu belum pernah dari DPR,” ujar Bobby.
Menanti Komitmen Pemerintah dan DPR
Komisi I DPR periode 2024-2029 sebelumnya sempat menyebutkan aturan yang masuk Prolegnas 2025, salah satunya adalah revisi terhadap Undang-Undang TNI. Revisi ini sempat menuai kritik karena berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi ABRI. Komisi I DPR menyatakan terdapat dua pasal yang akan diubah dalam Undang-Undang TNI. Pasal tersebut adalah Pasal 47 yang mengatur jabatan di lembaga lain yang bisa ditempati prajurit aktif serta Pasal 53 ihwal perpanjangan masa bakti prajurit setingkat perwira.
Kapendam I/Bukit Barisan Kolonel Inf Dody Yudha saat memberikan keterangan perihal peristiwa keributan antara oknum TNI AD dan Warga Deli Serdang di Media Centre Kodam I/BB, Jalan Rotan Medan Petisah, Sumatera Utara, 10 November 2024. Dok. Pendam I/BB
TB. Hasanuddin dalam penjelasannya pada Jumat, 15 November 2024, mengatakan rencana revisi terhadap Undang-Undang TNI, khususnya Pasal 47, masih diperdebatkan di lingkup internal Komisi I DPR perihal mesti masuk Prolegnas. Dia menjelaskan, masih diperlukan masukan-masukan untuk menentukan nasib perubahan pada pasal tersebut. “Masyarakat sipil juga akan didengarkan bagaimana tanggapannya,” ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.
Muhammad Isnur mengatakan revisi terhadap Undang-Undang TNI, terutama Pasal 47 yang mengatur ihwal prajurit dapat menempati jabatan di lembaga lain, bakal berpotensi memperluas kesewenang-wenangan tentara. Anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan ini khawatir revisi tersebut malah melanggengkan impunitas dengan adanya superioritas dalam jabatan. Isnur kembali menegaskan, “Justru yang mendesak adalah revisi Undang-Undang Peradilan Militer, bukan Undang-Undang TNI.”
Tempo belum mendapatkan tanggapan dari TNI perihal desakan untuk merevisi Undang-Undang Peradilan Militer. Pertanyaan yang diajukan dijawab tentang perkembangan kasus serangan di Deli Serdang.
Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI Mayor Jenderal Hariyanto mengatakan Komando Daerah Militer I Bukit Barisan telah melaksanakan mediasi dengan perwakilan masyarakat dan keluarga korban di markas Batalyon Artileri Medan 2/105 Kilap Sumagan dan di rumah sakit. TNI juga sedang memeriksa 45 orang. “Biarkan pengusutan berjalan sampai tuntas. Mereka yang terlibat akan diproses sesuai dengan hukum dan hukuman disiplin,” ucap Hariyanto dalam keterangannya, kemarin.
Menurut dia, TNI akan menggunakan mekanisme peradilan militer, sebagaimana Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Hariyanto memastikan penanganan kasus dilakukan secara profesional dan tak pandang bulu.
Komandan Pusat Polisi Militer (Puspom TNI) Mayor Jenderal Yusri Nuryanto mengatakan pihaknya akan bertindak profesional. Ia menegaskan, Puspom TNI telah menahan 45 tentara yang diduga terlibat. Mereka diperiksa lebih lanjut mengenai keterlibatan dan motif penyerangan. Yusri berjanji akan segera melakukan penetapan tersangka dalam kasus ini.
Khairul Fahmi mengatakan Puspom TNI harus segera menetapkan tersangka untuk memastikan komitmen TNI dalam penyelidikan tersebut. Menurut dia, lambannya proses hukum akan menyebabkan tingkat kepercayaan publik terhadap TNI menurun drastis. “Kalau sudah tahap penyidikan, kemudian alat bukti tercukupi, tunggu apalagi?” ujar Khairul.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo