Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Jokowi Minta Maaf, Dulu Pernah Minta Dikritik

Pernyataan Jokowi minta maaf langsung disorot berbagai pihak. Sebelumnya, pernah pula Jokowi minta dikritik.

5 Agustus 2024 | 13.36 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi menuai perhatian setelah menyatakan permintaan maaf menjelang masa jabatannya berakhir baru-baru ini. Selain Jokowi minta maaf, ternyata juga pernah meminta dikritik. Sama seperti saat dirinya meminta maaf, permintaan Jokowi untuk dikritik juga menuai sorotan kala itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lantas seperti apa kilas balik Jokowi minta dikritik tersebut?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, Jokowi minta maaf atas kesalahannya selama menjabat. Kepala negara mengingatkan bahwa dia hanya manusia biasa. Hal itu disampaikannya dalam sambutan momen zikir kebangsaan di Istana Merdeka, Jakarta, pada Kamis malam, 1 Agustus 2024.

“Saya dan Profesor Kiai Haji Ma’ruf Amin ingin memohon maaf yang sedalam-dalamnya atas segala salah dan khilaf selama ini. Khususnya selama kami berdua menjalankan amanah sebagai presiden dan sebagai wakil presiden,” kata Jokowi.

Kilas balik Jokowi minta dikritik

Pernyataan Jokowi minta dikritik disampaikan pada Senin, 8 Februari 2021 silam saat memberi sambutan di Laporan Akhir Tahun Ombudsman RI. Presiden saat itu meminta masyarakat untuk lebih aktif dalam memberi masukan dan kritik pada pemerintah. Kritik, kata dia, bagian dari proses mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik.

Jokowi mengatakan kritik dan masukan, salah satunya bisa dilakukan lewat Ombudsman RI. Pihaknya menyadari banyak hal yang sudah dicapai, namun juga banyak yang perlu diperbaiki. Eks Gubernur DKI Jakarta itu meyakini Ombudsman RI telah menemukan berbagai kekurangan yang perlu diperbaiki pemerintah.

“Catatan ini sangat penting untuk mendorong peningkatan standar kualitas pelayanan publik di masa yang akan datang,” kata Jokowi.

Jokowi menyampaikan diperlukan partisipasi dari seluruh elemen masyarakat dan juga memerlukan pengawasan dari Ombudsman RI. Kata dia, baik berupa input, kritik, maupun dukungan agar pelayanan publik di negara semakin berkualitas. Karenanya masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritikan.

“Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik masukan ataupun potensi maladministrasi dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya-upaya perbaikan,” kata mantan Wali Kota Solo itu.

Sehari sebelumnya, bertepatan dengan di Hari Pers Nasional, Jokowi juga menyinggung soal ruang diskusi dan kritik. Pernyataan Kepala Negara itu diperkuat oleh Sekretaris Kabinet Pramono Anung yang menyebut, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, kebebasan pers wajib dijaga. Sebagai negara demokrasi, menurutnya, kebebasan pers merupakan tiang utama menjaga demokrasi tetap berlangsung.

“Bagi pemerintah, kebebasan pers, kritik, saran, masukan itu seperti jamu, menguatkan pemerintah. Kita memerlukan kritik yang terbuka, kritik yang pedas, kritik yang keras, karena dengan kritik itulah pemerintah akan membangun lebih terarah dan lebih benar,” ujar Pramono.

Pernyataan Jokowi itu ternyata menuai reaksi dari berbagai kalangan. Apalagi tutur Jokowi ini tak semanis dengan kenyataan di lapangan. Faktanya, banyak penangkapan kritikus yang terjadi saat itu. Meski ada yang kemudian dilepaskan, namun hal ini menunjukkan bahwa jaminan kebebasan mengkritik tak selaras yang dikatakan Jokowi.

Tak hanya masyarakat biasa, Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY juga ikut buka suara. Ia mengibaratkan kritik seperti obat yang terasa pahit dan pujian bak gula yang rasanya manis. Obat terasa pahit, tetapi bisa mencegah atau menyembuhkan penyakit. Jika dosisnya tepat, kata SBY, maka seseorang yang mengonsumsinya akan menjadi sehat.

“Kritik itu laksana obat dan yang dikritik bisa 'sakit'. Namun kalau kritiknya benar dan bahasanya tidak kasar, bisa mencegah kesalahan,” ujar SBY dalam cuitan di akun Twitter-nya, kini X, pada Sabtu, 13 Februari 2020.

Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla bahkan menyentil lebih keras. Sosok yang pernah menjadi pendamping SBY dan Jokowi di pemerintahan ini mempertanyakan cara mengkritik tanpa dipanggil polisi. Pertanyaan ini jelas merupakan bentuk sarkasme lantaran kenyataannya banyak pengkritik pemerintah justru dibekuk aparat penegak hukum.

 “Tentu banyak yang ingin melihatnya, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi? Seperti yang disampaikan Pak Kwik (Kian Gie), dan sebagainya,” ujar JK dalam acara peluncuran Mimbar Demokrasi Kebangsaan Fraksi PKS DPR RI seperti ditayangkan di kanal YouTube PKS TV, dikutip pada Sabtu, 13 Februari 2021.

HENDRIK KHOIRUL MUHID  | DANIEL A. FAJRI | M ROSSENO AJI

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus