Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Nestapa di Negeri Syam

Ratusan bekas pendukung ISIS asal Indonesia terkatung-katung di Suriah. Otoritas Kurdi bersedia memulangkan pengungsi asalkan ada permintaan resmi dari pemerintah Indonesia. Tempo menelusuri keberadaan mereka yang dikurung di penjara dan tertahan di kamp pengungsian di sana.

15 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UBAID Mustofa Mahdi terlonjak dari ranjangnya begitu mendengar keributan di penjara Derik di Kota Al-Malikiyah, di kawasan timur laut Suriah, pada 5 April lalu. Dari balik jeruji biliknya, pria 29 tahun ini melongok ke lorong dan melihat puluhan tawanan bekas pendukung kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) memberontak.

Mereka, menurut Ubaid, merusak segala yang ada di dalam penjara. Tak terkecuali tembok, yang terus digedor agar jebol. Mereka berniat kabur dari bui. “Karena di dalam sini membikin kami stres. Tidak bisa tahu masa depan,” ujar Ubaid kepada Tempo dalam wawancara di kompleks kantor intelijen Pasukan Demokratik Suriah (SDF), Rmelan, sekitar 30 kilometer dari penjara Derik, pada Sabtu, 25 Mei lalu.



Seperti Ubaid, para tahanan ingin berkumpul lagi dengan keluarga mereka dan kembali ke tanah air masing-masing. Sejak mulai bertempur pada 2016 hingga benteng terakhir ISIS di Desa Baghouz al-Fawqani di Dayr az-Zawr jatuh pada Maret lalu, SDF—gabungan prajurit Kurdi dan Arab Suriah—memenjarakan 6.000 kombatan kelompok teroris tersebut. Dari angka itu, menurut Ketua Komisi Luar Negeri Otoritas Kurdistan Suriah atau Rojava, Abdulkarim Omar, sekitar seribu tahanan berasal dari 55 negara selain Irak dan Suriah.

Pemberontakan di penjara tak berlangsung lama. SDF, yang bukan bagian dari militer pemerintah Suriah, turun tangan dan memadamkan kerusuhan. Setelah itu, menurut Ubaid, tahanan perusuh menjadi bulan-bulanan petugas dan digelandang ke halaman penjara. Mereka dikumpulkan, lalu dibawa pergi dari Derik, termasuk dua orang warga Indonesia asal Sumedang dan Solo. Mereka telah berada di dalam bui sebelum Ubaid dimasukkan ke ruang tahanan pada 17 November 2017. “Setelah kerusuhan, saya tidak pernah melihat mereka lagi,” katanya.

Tenda-tenda pengungsi di kamp pengungsian Al-Hawl, 23 Mei 2019. TEMPO/Hussein Abri Dongoran

Pria yang besar di Surabaya itu masuk penjara setelah menyerahkan diri kepada SDF bersama istri, seorang anaknya, dan empat pria lain dari Indonesia. Sebelumnya, mereka berniat keluar dari Suriah, tapi ditangkap prajurit ISIS di Dayr az-Zawr, sekitar 150 kilometer di tenggara Raqqah, yang menjadi ibu kota ISIS. SDF kemudian datang membebaskan kota itu dan menerima penyerahan diri sejumlah bekas pendukung ISIS.

Dalam interogasi, kata Ubaid, pasukan Kurdi mengatakan akan membawa para pria ke tahanan hingga pemerintah Indonesia menghubungi SDF. Sedangkan istri dan anaknya dibawa ke kamp pengungsian di Kota Ain Issa, sekitar 320 kilometer di barat Al-Malikiyah, tempat Ubaid ditahan.

Sebelum kerusuhan meletus di penjara Derik, Ubaid mengatakan fasilitas di penjara lebih dari cukup. Dia tidur di atas kasur di ranjang susun yang terdiri atas tiga tingkat, di dalam ruangan berukuran 12 x 6 meter. Saat itu, jumlah tahanan dalam satu sel 20 orang dengan setiap orang mendapat satu tempat tidur. Sejumlah fasilitas, seperti televisi, penyejuk udara, dan kamar mandi dengan air panas, melengkapi bilik penjara. Di luar sel, ada taman di dalam penjara yang bisa dikunjungi selama satu jam setiap hari.

Makanan di dalam penjara Derik pun terjamin. Setiap hari, Ubaid diberi jatah makan tiga kali. Menunya beragam, dari telur, olahan sayur, hingga daging yang datang setiap satu pekan sekali. Untuk menghabiskan waktu, Ubaid biasa menonton televisi, bermain catur, dan membersihkan kamar.

Namun kenikmatan tersebut sirna setelah kerusuhan. “Semua fasilitas dicabut sebagai hukuman,” ujar Ubaid. Jumlah tahanan yang mencapai 20 orang dalam setiap ruangan dikurangi setengahnya. Mereka tak lagi tidur di ranjang, tapi di matras beralaskan lantai. Jatah untuk keluar dari ruang tahanan dan main ke taman pun dibatasi. “Kini jadi gampang sakit, alergis, dan gatal-gatal,” katanya.

Halimatun Sadiyah di kamp Al-Hawl, 23 Mei 2019. TEMPO/Hussein Abri Dongoran

Di setiap sudut, termasuk di ruang tahanan, dipasang kamera pengawas (CCTV). Tahanan pun dilarang tidur siang. Mereka yang ketahuan diberi peringatan. Jika mereka mengabaikannya, petugas tak segan memberikan hukuman fisik. Kini, kegiatan Ubaid hanya memandang langit-langit dan dinding sel. Ia juga tak mengetahui lagi pergantian waktu lantaran jam dan kalender dicopot petugas penjara.

•••

MATA tiga orang Asayis—petugas keamanan di bawah naungan SDF—tak pernah lepas dari puluhan perempuan bergamis hitam dan anak-anak yang menyemut di pagar lapis kedua kamp pengungsian di Al-Hawl, Suriah, pada Kamis, 23 Mei lalu. Sambil terus memangku senapan Avtomat Kalashnikova 47 atau AK-47, petugas berseragam hijau itu terkadang berbicara keras kepada perempuan yang memaksa ingin keluar dari area pengungsian.

Perempuan dan anak-anak tersebut adalah keluarga dari kombatan ISIS. Sebenarnya petugas Asayis tak melulu galak kepada pengungsi. Tempo yang berada di kamp Al-Hawl melihat mereka membolehkan beberapa orang yang ingin berobat dan membeli bahan makanan keluar dari kamp, terutama perempuan berbadan kecil dan anak-anak. Saat keluar, sebagian besar menuntun troli untuk mengangkut barang.

Ubaid Mustofa Mahdi di Rmelan, Suriah, Sabtu, 25 Mei 2019. TEMPO/Hussein Abri Dongoran

Berdasarkan data Otoritas Kurdistan Suriah, kamp Al-Hawl menampung 73 ribu pengungsi. Dari angka itu, ada 3.380 keluarga yang terdiri atas 11.039 orang yang berasal dari luar Irak dan Suriah. Jumlah pengungsi membeludak setelah benteng terakhir ISIS di Desa Baghouz al-Fawqani, Dayr az-Zawr, digempur pasukan Kurdi pada 23 Maret lalu.

Lebih dari seribu kombatan ISIS dari berbagai negara tewas dalam pertempuran tersebut. Ribuan milisi lain menyerahkan diri, lalu dijebloskan ke bui. Sedangkan perempuan dan anak-anak dibawa ke Al-Hawl oleh SDF. “Saya dan anak-anak dibawa dengan truk selama satu hari satu malam dari Baghouz ke Al-Hawl,” ujar Aisyah Retno, 35 tahun, pengungsi asal Kutacane, Aceh Tenggara, kepada Tempo di kamp Al-Hawl pada 23 Mei lalu. Jarak dari Baghouz ke Al-Hawl sekitar 311 kilometer.

Selama di perjalanan, menurut Aisyah, banyak anak kecil mati karena kedinginan dan kelaparan. Begitu juga saat SDF mengumpulkan ratusan perempuan dan anak-anak di aula besar di kamp pengungsian setiba mereka di Al-Hawl. Abdulkarim Omar dari Otoritas Kurdistan Suriah mengatakan lebih dari 250 anak tewas saat ISIS kalah di Baghouz. Ia juga mengakui banyak anak kecil meninggal di kamp pengungsian. “Bagaimana kami mengurus mereka dengan sumber daya yang terbatas?” ujarnya.

Kondisi pun tak membaik setelah Aisyah bersama empat anaknya didata dan ditanyai soal identitasnya. Aisyah mengatakan paspornya hilang saat menyelamatkan diri di Baghouz. Tak sempat membawa harta benda, Aisyah hanya membawa selapis pakaian yang menempel di tubuh. Duit pun hanya yang tertinggal di saku baju. “Waktu itu, banyak bom dan suara tembakan. Saya hanya ingat nyawa sama anak-anak,” katanya.

Setelah didata, Aisyah diantarkan ke tenda pengungsian. Menurut Aisyah, selama tiga bulan di Al-Hawl, kehidupannya terus memburuk. Ia tak mendapat tenda pribadi untuk tempat tinggal bersama empat anaknya. Ia berpindah tenda dua kali, menumpang di tenda yang dihuni perempuan lain asal Indonesia.

Di pengungsian, setiap keluarga jamaknya diberi satu tenda untuk ditinggali bersama. Menurut juru bicara SDF, Mustafa Bali, saat ini mereka kekurangan tenda untuk pengungsi. “Karena jumlah pengungsi terus bertambah,” ujarnya, Senin, 20 Mei lalu.

Warga menunjukkan selongsong peluru di bekas markas ISIS di Raqqah, Suriah, 20 Mei 2019. TEMPO/Hussein Abri Dongoran

Tempo melongok ke tenda bernomor 39378, tempat Aisyah tinggal bersama enam orang lain, termasuk empat anaknya. Di dalam tenda putih berukuran sekitar 3 x 7 meter itu terhampar tujuh matras yang tebalnya tak lebih dari sejengkal. Tumpukan baju, air kemasan, dan makanan ringan teronggok di sudut-sudut tenda. Ada juga sejumlah botol plastik untuk menyimpan air keperluan mandi dan mencuci yang sulit diperoleh di pengungsian.

Di area pengungsian, ada dua sumber air, yakni di kamar mandi dan di tangki penampungan berwarna oranye. Aisyah mengatakan pengungsi asal Indonesia lebih suka mengantre air dari tangki karena kamar mandinya jorok dan bau. Karena sulit air, Aisyah paling cepat mandi dua hari sekali. “Kadang-kadang tujuh hari sekali,” ucapnya.

Untuk menyambung hidup, Aisyah menyulap bagian depan tenda tempat tinggalnya menjadi tempat berjualan. Ia menancapkan dua kayu setinggi dua meter sebagai tiang terpal yang menaungi dagangannya. Di bawah terpal, Aisyah menjajakan berbagai makanan ringan, bumbu masakan, minuman, dan es batu. Dalam satu hari ia bisa mendapat untung 2.000 pound Suriah atau sekitar Rp 55 ribu. “Karena bantuan untuk makanan tidak selalu ada,” katanya.

Mustafa Bali. TEMPO/Hussein Abri Dongoran

Saat masih ikut ISIS, ia dan keluarganya mendapat US$ 200 per bulan dan makanan gratis. Ketika itu, suaminya, yang berasal dari Malaysia, bertugas sebagai serdadu ISIS. Jumlah tersebut menurun menjadi US$ 70 per bulan setelah ISIS keok di Raqqah, tempat tinggalnya sejak tiba di Suriah pada 2014. Dari Raqqah, Aisyah pindah ke Desa Baghouz, sebelum menjadi penghuni kamp Al-Hawl.

Pengungsi lain asal Indonesia, Astari, menjual makanan siap saji, seperti ayam goreng. Ia memasaknya di kompor di sebelah tenda. Semua bahan dagangannya dia beli di sekitar area pengungsian. “Kalau tidak jualan, tidak bisa memenuhi kebutuhan anak-anak,” ujar perempuan asal Ciledug, Tangerang, Banten, ini. Anak Astari, Yulfa, berusia enam tahun, sedangkan si bungsu Zaid berumur tiga tahun. Dalam sehari, perempuan 33 tahun itu bisa mengantongi 1.000-1.500 pound Suriah atau Rp 27-41 ribu dari dagangannya.

Astari adalah istri Irhasy Marco Adam, yang pernah dikaitkan dengan Dulmatin alias Joko Pitono atau Joko Supriyanto, perakit bom Bali pada 2002. Pada 2009-2010, Irhasy menampung Dulmatin di rumah kontrakannya di Pamulang, Tangerang Selatan. Pada tahun terakhir di Pamulang, Dulmatin tewas dalam penyergapan oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI. Irhasy lalu mengajak keluarganya berangkat ke Suriah pada 2014. Setahun kemudian, ia tewas dalam sebuah pertempuran.

Di kamp Al-Hawl, Tempo juga menemui pengungsi lain asal Indonesia. Di antaranya Windy Aulia Alwi, 17 tahun; Salma Syafii, 14 tahun; dan Halimatun Sadiyah, 25 tahun. Windy mengatakan kegiatannya di kamp itu-itu saja. “Kami belajar mengaji dan belajar agama,” ujarnya. Menurut Astari, ada sekitar 200 warga Indonesia di kamp Al-Hawl.

•••

PENYESALAN selalu datang terlambat. Astari mengalaminya setiba dia di Suriah. Menurut Astari, kehidupannya di negeri orang tak seperti yang dibayangkan sebelum berangkat. Di Ciledug, ia dan Irhasy hidup berkecukupan. “Saya di sini kaget. Tiap hari menangis dan berharap pulang ke Indonesia,” katanya.

Tempo menemui mertua Astari, Mardiono dan Khoriyah, di rumahnya di Karang Tengah, Tangerang. Keduanya berharap bisa melihat menantu dan cucunya. “Kami kangen. Kapan mereka bisa pulang?” ujarnya, Selasa, 28 Mei lalu. Mereka menangis begitu mengetahui nasib Astari dan kedua cucunya di kamp pengungsian.

 

Abdulkarim Omar dari Otoritas Kurdistan Suriah mengatakan mereka bersedia mengembalikan perempuan dan anak-anak asal Indonesia asalkan pemerintah Indonesia membuka komunikasi dengan otoritasnya. “Komunikasi terakhir kami dengan pemerintah Indonesia itu dua tahun yang lalu,” kata Abdulkarim ketika ditemui Tempo di kantornya di Ain Issa pada Senin, 20 Mei lalu. Ketika itu, Rojava menyerahkan lebih dari 20 orang Indonesia yang bergabung dengan ISIS di Raqqah.

 

Adapun kombatan ISIS yang merupakan tahanan SDF akan tetap mendekam di sel hingga terbentuknya pengadilan internasional untuk mengadili mereka. Sebab, kata Abdulkarim, mereka telah melakukan kejahatan perang dan kemanusiaan di Suriah. “Semua saksi dan bukti ada di sini,” ujarnya.

 

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi enggan menanggapi ihwal komunikasi terakhir pemerintah dengan Rojava dan nasib warga negara Indonesia di Suriah. “Silakan pakai pernyataan Kepala BNPT saja,” ujarnya kepada Tempo di Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis, 13 Juni lalu.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komisaris Jenderal Suhardi Alius mengatakan komunikasi terakhir dengan Otoritas Kurdistan Suriah memang terjadi dua tahun lalu. Ketika itu, Kementerian Luar Negeri memulangkan 18 orang—menurut Abdulkarim Omar, lebih dari 20 orang—dari Raqqah ke Suriah melalui Irak. “Komunikasi secara resmi saat mengambil Dwi Djoko Wiwoho,” ujarnya. Pada Mei lalu, kata Suhardi, pemerintah telah menggelar rapat membahas nasib warga Indonesia yang masih berada di negeri Syam.

Di penjara Derik, Ubaid Mustofa Mahdi berharap pemerintah bisa memulangkan dirinya. Ia ingin mencium kaki ibunya untuk meminta maaf—karena pergi ke Suriah—dan berkumpul bersama keluarga besarnya. “Lebih baik dipenjara di negeri sendiri daripada berada di negeri asing yang tidak bisa dikunjungi keluarga,” ujarnya.

HUSSEIN ABRI DONGORAN, (RMELAN, AL-HAWL, AIN ISSA), AYU CIPTA , MUHAMMAD KURNIANTO (TANGERANG, AHMAD RAFIQ (SOLO)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus