Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEBARAN tinggal menghitung hari. Kabar baiknya, ada kemungkinan semua umat Islam di Indonesia melaksanakan salat Idul Fitri berbarengan. Hanya, saat penentuan awal Ramadan lalu, tetap terjadi perbedaan. “Untuk tiga tahun ke depan, kita akan terus berbeda," ujar ahli astronomi, Thomas Djamaluddin.
Menurut Deputi Bidang Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional itu, tahun ini hingga 2014 posisi bulan pada 29 Syakban selepas magrib diperkirakan berada di bawah dua derajat.
Dari sudut pandang astronomi, itu berarti bulan mustahil terlihat oleh mata telanjang. Dengan demikian, Syakban digenapkan menjadi 30 hari dan 1 Ramadan jatuh pada hari berikutnya. Kriteria ini dikenal dengan nama imkanur rukyat (visibilitas hilal).
Pemerintah, dan mayoritas organisasi kemasyarakatan Islam di Indonesia, menggunakan kriteria itu. Tapi tidak demikian dengan Muhammadiyah. Mereka telah menetapkan bulan baru meski hilal di bawah dua derajat atau belum terlihat secara kasatmata.
Ormas Islam terbesar kedua di Indonesia itu menggunakan kriteria wujudul hilal dengan tiga parameter: telah terjadi ijtimak (konjungsi), konjungsi terjadi sebelum matahari terbenam, dan saat matahari terbenam bulan di atas ufuk.
Menurut Thomas, wujudul hilal, yang berlandaskan hisab, dan rukyat, yang mengandalkan penglihatan bulan, bagai dua sisi mata uang. Tak mungkin bertemu. Untuk menjembataninya, kriteria visibilitas hilal hadir.
Penetapan batas ketinggian dua derajat itu dilakukan karena hilal sangat tipis dan redup, sedangkan cahaya senja sangat terang. Agar terlihat, hilal harus berada pada ketinggian tertentu dan cahaya senja sudah redup.
Visibilitas hilal memiliki kriteria beragam, di antaranya berdasarkan ketinggian bulan, jarak bulan dan matahari, ketebalan sabit hilal, umur, serta beda waktu terbenam bulan dan matahari. “Biasanya kemudian harus dipilih yang paling mudah dilaksanakan," ujar pria yang aktif di Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama ini.
Secara imkanur rukyat, jika ada kesaksian hilal tunggal di bawah dua derajat, akan langsung ditolak. “Jika ada banyak kesaksian, harus dikonfirmasi lebih dulu, jangan-jangan planet Venus yang sering mengecoh," ujar Thomas.
Wahyu Widiana, Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama, menceritakan asal-usul kriteria dua derajat itu. Ketika pertemuan tak resmi antara Menteri Agama Brunei, Indonesia, dan Malaysia (kemudian ditambah Singapura) atau MABIMS dibentuk pada 1989, masalah hisab rukyat diserahkan kepada Indonesia, yang dianggap paling dinamis dan memiliki wilayah paling luas.
Wahyu, saat itu menjabat Kepala Subdirektorat Pertimbangan Agama, Hukum, dan Hisab Rukyat, merupakan anggota komite dari Indonesia yang dipercaya mengurus masalah teknis soal hisab dan rukyat. Pertemuan komite di Hotel Sabang, Jakarta, pada 1-5 Juli 1992, akhirnya menyepakati penggunaan hisab untuk kalender.
Kriteria awal bulan adalah jika tinggi bulan di seluruh wilayah empat negara itu sudah 2 derajat, jarak bulan dan matahari 3 derajat, serta umur bulan 8 jam. Kriteria ini kemudian acap disebut kriteria 238. Sedangkan untuk kepentingan ibadah, hal itu dilakukan berdasarkan hisab dan rukyat.
Menurut Wahyu, penggunaan kriteria dua derajat semata-mata karena di Indonesia beberapa kali dilaporkan bulan terlihat pada ketinggian itu. Padahal, sebelumnya, dalam pertemuan internasional pada 1978 di Istanbul, Turki, kriteria yang ditetapkan adalah ketinggian bulan 5 derajat, jarak bulan-matahari 7-8 derajat, dan umur bulan 15 jam.
Dalam perjalanannya, kesepakatan MABIMS itu hanya bersifat sebagai masukan. Singapura dilaporkan tidak pernah berhasil melakukan rukyat karena wilayahnya terbatas. Mereka pun menggunakan hisab murni. Brunei hanya menerima hasil rukyat yang jatuhnya delapan derajat bujur dari Brunei atau batas Pelabuhan Ratu.
Meski menjadi jawaban untuk mempertemukan hisab dan rukyat, Thomas mempertanyakan dasar penggunaan dua derajat, yang jelas-jelas berbeda dengan keputusan Istanbul dan tidak memenuhi syarat astronomi.
Dalam pertemuan Badan Hisab Rukyat pada 25 September 2011, ia mengusulkan penggunaan kriteria astronomi, yaitu beda tinggi bulan-matahari minimal 4 derajat dan jarak bulan-matahari minimal 6,4 derajat. Angka 4 derajat itu berdasarkan data rukyat secara global.
Pakar astronomi dari Institut Teknologi Bandung, Moedji Raharto, sependapat dengan Thomas. Ia mengatakan kriteria dua derajat masih belum bisa mengakomodasi sains. “Tinggi dua derajat terlalu artifisial, bukan sebenarnya. Ini kesepakatan yang mengadopsi kitab-kitab," ujarnya.
Sikap mempertahankan kriteria 238 diperlihatkan Nahdlatul Ulama. Ketua Lajnah Falaqiyah Pengurus Besar NU Ahmad Ghazalie Masroeri menilai klaim empat derajat Thomas hanyalah teoretis. Menurut dia, batas 238 dipakai berdasarkan pengalaman empiris. “Ini berjalan sudah sekian tahun, dipakai oleh warga NU. Saya sudah bosan mendengar soal empat derajat itu," ujarnya.
Ghazalie mengatakan, untuk menentukan awal Syawal, Ramadan, dan Zulhijah, NU menggunakan metode rukyat berkualitas, didukung hisab modern, dan kriteria imkanur rukyat. Dasar rukyat, kata dia, adalah Al-Quran dan sunah. “Paling tidak ada empat ayat Al-Quran yang dipahami sebagai perintah rukyat dan 23 hadis yang memerintahkan rukyat. Ini sumber hukumnya," ujarnya.
Rukyat berkualitas itu harus dilakukan di tempat strategis, dapat melihat ufuk barat dengan jelas, misalnya di pantai, pegunungan, bukit, lepas pantai, tengah laut, atau di menara yang cukup tinggi, serta dilaksanakan oleh ahlinya.
Para perukyat NU memiliki surat izin merukyat tingkat nasional. Rukyat dilakukan dengan menghadirkan ahli hisab, rukyat, dan fikih pada tanggal 29 bulan kamariah. Rukyat dilaporkan setelah memasuki magrib atau matahari sudah benar-benar terbenam.
Secara astronomis, kata Ghazalie, rukyat NU dibantu dan diarahkan oleh hisab yang akurat serta menggunakan imkanur rukyat, yang juga diadopsi dalam kalender NU. Bedanya, di kalender NU setiap 1 kamariah diberi catatan kaki: “tunggu hasil rukyat". “Ini artinya hitungan hisab harus dicek ulang tingkat akurasinya," ujarnya.
Lantaran kriteria imkanur rukyat berbeda-beda di antara ormas dan astronom, serta perbedaan hari Arafah tak bisa diselesaikan dengan rukyat, Muhammadiyah pun memilih kriteria hisab, yang dianggap lebih sederhana dan murah. “Kita harus mencari suatu penyatuan hari Arafah agar serentak," ujar Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar.
Salah satu problem penggunaan rukyat, yang menjadi kelemahannya, adalah dalam penentuan hari Arafah yang berbeda. Itu pernah terjadi dua tahun lalu. Perbedaan hari Arafah, yang dianjurkan berpuasa bagi yang tidak berhaji, berkonsekuensi pada perbedaan Idul Adha, yang diharamkan berpuasa.
Dengan penggunaan hisab, kata Syamsul, praktis tidak ditemukan masalah itu. Dengan hisab, juga tidak diperlukan sidang isbat karena penggunaan sistem kalender yang sudah berjalan otomatis. Karena sudah berjalan otomatis itulah sebulan sebelum penetapan awal puasa 2012 atau 1433 Hijriah, Muhammadiyah menetapkan 1 Ramadan jatuh pada Jumat, 20 Juli 2012.
Meski berbeda, Syamsul optimistis suatu saat penetapan awal ibadah umat Islam di Indonesia bisa disatukan, asalkan semua pihak bisa sama-sama belajar dengan ikhlas dan komprehensif. “Kita harus bersabar dan telaten. Namun saya sangat optimistis bisa disatukan. Itu sebuah keharusan," ujarnya.
Erwin Zachri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo