Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah belum memutuskan format payung hukum yang akan dibuat untuk mengakomodir daerah pemilihan imbas pembentukan tiga daerah otonomi baru atau DOB Papua. Komisi II DPR berjanji akan menampung usulan berbagai elemen masyarakat dalam hal tersebut.
"Belum pernah ada kata putus, belum pernah ada pembicaraan resmi berkaitan dengan solusi menyikapi adanya 3 DOB ini, karena itu tergantung kesepakatan antara DPR dan pemerintah serta mendengar masukan berbagai elemen masyarakat. Semua masukan akan kami tampung dan disampaikan dalam rapat dengan pemerintah usai reses nanti," ujar anggota Komisi II DPR RI, Guspardi Gaus saat dihubungi Tempo, Senin, 18 Juli 2022.
Politikus PAN itu menyebut, komisinya memang sudah melakukan diskusi internal dan mayoritas cenderung sepakat dengan opsi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) saja. Kata dia, Komisi II memiliki banyak pertimbangan tidak memilih opsi revisi UU Pemilu. Di antaranya, kata dia, revisi undang-undang membutuhkan waktu lama. Alasan lainnya, DPR khawatir pembahasan revisi UU Pemilu bisa melebar kemana-mana seperti parliamentary threshold, presidensial threshold, dan sebagainya.
"Jadi kalau lewat revisi undang-undang, belajar dari pengalaman, itu memakan waktu yang panjang dan bisa juga mengular kepada hal-hal di luar konteks. Padahal kita membutuhkan segera alas hukum supaya tiga DOB Papua ini bisa ikut menjadi peserta pemilu," tuturnya.
Kendati demikian, ujar dia, usulan DPR ini masih akan dibahas lebih lanjut dengan pemerintah usai reses atau setelah pembukaan masa sidang 16 Agustus 2022.
"Pemerintah tentu punya simulasi dan ancang-ancang sendiri. Nanti kami duduk bersama mencari titik temu solusi mana yang paling tepat dan akomodatif. Kami juga membuka ruang masukan dari berbagai elemen masyarakat," tuturnya.
Sejumlah pegiat pemilu dan pakar hukum menyarankan pemerintah dan DPR memilih opsi revisi terbatas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu untuk mengakomodasi penambahan daerah pemilihan setelah terbentuknya tiga provinsi baru di
Papua.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menyebut opsi tersebut lebih baik dan demokratis. Revisi terbatas UU Pemilu dianggap memungkinkan publik dan pemangku kepentingan, seperti Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu, untuk berpartisipasi dalam proses perubahan undang-undang. Berbeda dengan opsi Perpu yang menjadi kewenangan eksklusif presiden.
Pertimbangan lain, kata dia, penataan jumlah kursi parlemen dan daerah pemilihan tak bisa dilakukan secara sepihak oleh pemerintah, DPR, dan partai politik. KPU, Bawaslu, organisasi masyarakat sipil peduli pemilu, serta publik seharusnya ikut dilibatkan dalam perubahan aturan pemilu tersebut.
"Kursi dan dapil bukan cuma menyangkut kepentingan partai politik, tapi harus mengakomodasi aspirasi masyarakat serta pemenuhan prinsip keterwakilan yang adil dan proporsional," ujarnya.
Peneliti dari Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay, sependapat dengan Titi. Hadar berpendapat revisi UU Pemilu lebih tepat dibanding menerbitkan Perpu Pemilu. Alasannya, Perpu hanya bisa diterbitkan dalam situasi darurat.
"Memangnya situasi saat ini sudah darurat? Kan pembentukan DOB Papua disengaja," kata Hadar.
la mengatakan semestinya DPR dan pemerintah sejak awal sudah mempertimbangkan risiko pembentukan tiga provinsi baru di saat tahapan pemilu sudah berjalan. Pembentukan provinsi baru pasti mengganggu tahapan pemilu dan konsekuensinya adalah perubahan UU Pemilu. Menurut Hadar, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menerbitkan Perpu Pemilu, karena opsi merevisi UU Pemilu secara terbatas masih mungkin dilakukan.
DEWI NURITA | IMAM HAMDI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini