Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERKARIB pada zaman kuliah, pegawai Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Yaya Purnomo, dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy terus memelihara persahabatan. Karena pertemanan itu, Yaya menjadi jalur sejumlah politikus yang ingin mendapat rekomendasi dari partai Ka’bah menjelang pendaftaran calon kepala daerah untuk pemilihan serentak tahun ini. “Menurut cerita klien saya, semua permintaan lewat dia ditolak Romahurmuziy,” ujar Rony Hartawan, pengacara Yaya, Rabu pekan lalu.
Pertautan Yaya dengan Romahurmuziy juga terungkap dalam surat dakwaan Yaya. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan Yaya pernah berjumpa dengan Amin Santono, anggota Fraksi Partai Demokrat, pada Oktober 2017, di kantin Kementerian Keuangan. Pertemuan itu dihadiri seorang konsultan proyek bernama Eka Kamaluddin dan Erwin Pratama Putra, orang yang mengaku sebagai utusan Bupati Kampar Aziz Zainal.
Erwin datang ke Jakarta menemui Yaya, Amin Santono, dan Eka Kamaluddin dengan maksud mengurus jatah dana alokasi khusus (DAK) tahun anggaran 2018 Kabupaten Kampar. Di depan Yaya, Erwin mengatakan daerahnya sudah mengajukan usul DAK lewat Romahurmuziy, yang juga anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat. Ia meminta Yaya me-ngawal usul DAK untuk Kampar di Kementerian Keuangan, yang merancang anggaran sebelum dibahas di DPR. Yaya menyang-gupinya.
Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan M. Romahurmuziy setelah menjalani pemeriksaan terkait dengan kasus suap usul dana perimbangan keuangan daerah, di gedung KPK, Jakarta, Agustus 2018. -TEMPO/Imam Sukamto
Romahurmuziy mengaku tak mengenal Erwin. Ia kaget namanya disebut dalam pembahasan anggaran. “Tak ada angin dan hujan, tiba-tiba saya dicatut begitu saja,” katanya lewat pesan WhatsApp, Kamis pekan lalu. Tempo menanyakan kedekatannya dengan Yaya. Tapi Rommy—panggilan Romahurmuziy—tak memberikan jawaban.
Menurut Rommy, ia sempat menanyakan status Erwin kepada Bupati Kampar Aziz Zainal, yang juga Ketua PPP Riau. Menjawab pertanyaan ketua umumnya, Aziz mengirim tautan portal berita yang berisi bantahan Erwin sebagai utusan Bupati Kampar. Laman itu juga memuat penyangkalan Erwin bahwa ia pernah mengusulkan anggaran lewat Romahurmuziy.
Setelah pertemuan di kantin Kementerian Keuangan, Yaya intensif berhubungan dengan Erwin. Ia memberi tahu Erwin soal besaran DAK yang bakal didapatkan Kampar berdasarkan informasi dari Rifa Surya, Kepala Seksi Perencanaan DAK Non-Fisik Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Rifa punya akses untuk mengintip alokasi DAK bagi daerah yang disusun lembaganya.
Jaksa KPK menyebutkan Yaya dan Rifa mendagangkan informasi dana transfer pusat ke daerah. Mereka berdua ditengarai mengutip fee 3 persen dari jatah DAK Kampar untuk bidang pendidikan. Mereka menerima Rp 125 juta dari Erwin dalam tiga kali kesempatan Erwin berkunjung ke Jakarta. Di Hotel Borobudur dan pusat belanja Sarinah, keduanya menerima Rp 50 juta. Erwin menyerahkan sisanya di pusat belanja Senayan City pada Desember 2017.
Pada waktu yang hampir bersamaan, Yaya dan Rifa juga menjual informasi anggaran untuk Kota Tasikmalaya. Waktu itu, Wali Kota Tasikmalaya Budi Budiman mengajukan dana alokasi sekitar Rp 180 miliar untuk empat bidang pembangunan. Budi meminta Yaya dan Rifa menambah besarannya dari tahun-tahun sebelumnya.
Menjelang akhir 2017, peluang Tasikmalaya mendapat dana alokasi makin terang. Yaya dan Rifa memberi tahu Budi bahwa Tasikmalaya bakal menerima kucuran DAK hingga Rp 97,6 miliar. Yaya lantas mengajak Wakil Bendahara Umum PPP Puji Suhartono ke Tasikmalaya menemui Budi Budiman untuk menagih ongkos pengurusan anggaran. Budi adalah Ketua PPP Tasikmalaya.
Di Tasikmalaya, Yaya sekadar mampir. Ia langsung kembali ke Jakarta hari itu juga. Penerimaan uang diwakili Puji. Kepada Puji, Budi menyerahkan Rp 300 juta. Menurut jaksa, besel kemudian dibagi rata untuk bertiga: Yaya, Rifa, dan Puji. Masing-masing menerima Rp 100 juta.
Setelah itu, Puji dan Budi terus berhubungan. Ditemani Yaya, mereka sempat bertemu sekali di Bandung pada April 2018. Waktu itu, mereka membahas peluang Tasikmalaya mendapat jatah dana insentif daerah (DID) lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2018. Syaratnya, Tasikmalaya mengantongi opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan.
Sepulang dari Bandung, Budi segera membuat proposal DID. Ia meminta Yaya mengawal proposalnya di Kementerian Keuangan. Untuk jasa tersebut, Yaya menerima Rp 200 juta dari Budi, yang kemudian dibagi tiga lagi. Yaya, Puji, dan Rifa masing-masing menerima Rp 65 juta.
Setelah diperiksa KPK pada Agustus lalu, Budi mengatakan ia ditanyai penyidik soal pengajuan anggaran ke Kementerian Keuangan. “Belum ada proyek. Itu baru proposal infrastruktur di Tasikmalaya,” -ujarnya.
Tiga sekawan tersebut juga bermain di Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara. Kabupaten itu ingin membangun Rumah Sakit Umum Daerah Aek Kanopan. Nilai proyeknya Rp 30 miliar. Tapi usulnya tak terdaftar dalam sistem penganggaran di Kementerian Keuangan. Utusan Kabupaten Labuhanbatu Utara meminta Yaya mengurus masalah tersebut. Yaya setuju asalkan diberi imbalan Rp 400 juta.
Yaya kemudian mengontak Puji Suhartono untuk membereskannya. Input usul ke sistem anggaran hanya bisa dilakukan bila Kementerian Kesehatan mengubah rencana kerja anggaran. Karena itu, Puji menghubungi Irgan Chairul Mahfiz, koleganya di PPP yang juga anggota Komisi IX DPR. Komisi yang membawahkan bidang kesehatan ini mitra kerja Kementerian Kesehatan.
Berkat Irgan, Dinas Kesehatan Labuhanbatu Utara duduk semeja dengan Kementerian Kesehatan. Dalam rapat tersebut, Kementerian menyetujui perluasan dan renovasi Rumah Sakit Aek Kanopan.
Bantuan tersebut tak gratis. Setelah rapat itu, Irgan mengontak Puji, yang kemudian meneruskannya kepada Yaya. Menurut jaksa KPK, Yaya lalu menelepon Kepala Badan Pengelola Pendapatan Daerah Labuhanbatu Utara Agusman Sinaga agar menyetorkan duit ke rekening Irgan.
Menurut KPK, Irgan diduga menerima duit sedikitnya Rp 100 juta yang ditransfer dalam dua tahap pada Maret 2018. Ketika dimintai konfirmasi, Irgan membantah pernah membantu Puji mengurus anggaran rumah sakit Labuhanbatu Utara. “Saya tak ada bantuan untuk Puji. Bisa langsung ditanyakan ke Puji,” ujar Irgan, Rabu pekan lalu.
Sebagaimana Irgan, Puji menerima Rp 100 juta dari Agusman Sinaga. Yaya juga yang meminta Agusman mengirimkan duit ke rekening Puji setelah DAK diketuk.
Kongsi Yaya, Rifa, dan Puji berlanjut. Mereka mengurus dana insentif daerah yang diajukan Balikpapan untuk tahun anggaran 2018. Pada pertengahan 2017, Wali Kota Balikpapan Rizal Effendy mengajukan proposal DID senilai Rp 70 miliar. Ia mengajukan usul tersebut karena mendapat informasi dari pejabat Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Kalimantan Timur bahwa DID bisa mengucur bila laporan keuangan Balikpapan mendapat opini WTP.
Salinan proposal DID Balikpapan akhirnya sampai ke tangan Yaya dan Rifa. Pada Oktober 2017, Kementerian Keuangan sebenarnya sudah mengalokasikan DID untuk Balikpapan. Artinya, proposal dari Rizal telah disetujui, tapi Kementerian belum mengumumkannya secara resmi.
Dengan bekal informasi dari dalam bahwa Balikpapan akan menerima DID sebesar Rp 26 miliar, Yaya dan Rifa menjanjikan akan membantu Rizal Effendy. Mereka meminta imbalan 5 persen dari DID yang kelak cair. Pemerintah Balikpapan tak ke-beratan.
Besel tak ditransfer ke rekening mereka seperti sebelumnya. Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Balikpapan Tara Allorante menyerahkan kartu anjungan tunai mandiri dengan saldo Rp 1,3 miliar dan sebuah buku tabungan yang juga berisi Rp 1,3 miliar. Kartu ATM dan buku tabungan itu diserahkan kepada Yaya dan Rifa lewat auditor BPK Kalimantan Timur, Fitra Infitar.
Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, Irgan Chairul Mahfiz. -Dok TEMPO/Eko Siswono Toyudho
Fitra kemudian mengabari Puji Suhartono. Menurut dua pegawai BPK, Fitra mengenal Puji lewat Wakil Ketua BPK Bahrullah Akbar. Fitra pernah menjadi bawahan Bahrullah. Sedangkan Bahrullah disebut akrab dengan Puji melalui Yaya Purnomo. Menurut Rony Hartawan, pengacara Yaya, Bahrullah adalah dosen Yaya saat mengambil gelar doktor di Universitas Padjadjaran.
Dalam obrolan dengan Puji, Fitra menyampaikan kabar bahwa urusan fee dari Balikpapan sudah beres. Mendapat informasi itu, Puji mengirim pesan WhatsApp kepada Yaya. Dari pengurusan DID Balikpapan, kata jaksa, Puji menerima jatah sedikitnya Rp 200 juta.
Wali Kota Balikpapan Rizal Effendy menyebutkan telah menjelaskan semuanya kepada KPK. “Saya tidak kenal sama sekali dengan Pak Yaya dari Kemenkeu. Saya juga tidak pernah berhubungan dengan Pak Yaya dan orang sekelilingnya,” ujarnya.
Keterlibatan pejabat BPK dalam pengurusan anggaran kembali disebut dalam kasus Tabanan. I Dewa Nyoman Wiratmaja, anggota staf khusus Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti, menemui Wakil Ketua BPK Bahrullah Akbar untuk mencari informasi tentang prosedur pengurusan DID tahun anggaran 2018. Bahrullah menyarankan Nyoman mengontak Yaya Purnomo.
Bersama Rifa, Yaya kemudian melongok komputer sistem anggaran. Mereka memberi tahu Nyoman bahwa Tabanan mendapat alokasi Rp 51 miliar—dari anggaran yang diusulkan sebesar Rp 65 miliar. Dari Nyoman, Yaya dan Rifa mendapat Rp 600 juta dan US$ 55 ribu dalam kurun September-Desember 2017.
Tempo menemui Bahrullah pada Rabu pekan lalu. Ia enggan menjelaskan tudingan yang menyeret namanya. Ia juga menolak pernyataannya dikutip.
Adapun Puji Suhartono tak bisa ditemui. Beberapa nomor kontaknya yang diperoleh dari koleganya di PPP tak dapat dihubungi. Ketua Umum PPP Romahurmuziy mengatakan Puji adalah satu dari 47 Wakil Bendahara Umum PPP. Menurut Rommy, para wakil bendahara umum memiliki bisnis yang tak diketahuinya. “Saya pastikan apa yang dilakukan Puji bukan perintah dan tak terkait dengan partai,” ujar Romahurmuziy.
Arif Sahudi, Ketua PPP Surakarta, yang pernah menjadi pengacara Puji dalam kasus perdata, mengaku tak pernah menjalin kontak dengan Puji dalam setahun terakhir. “Apa yang dihadapi Puji sekarang hanya diketahui oleh dia dan pengacara yang ditunjuknya,” kata Arif.
RAYMUNDUS RIKANG, STEFANUS PRAMONO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo