Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERADA di lantai 16, unit apartemen bernomor 35 di Tower Emerald, Capitol Park, Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, ibarat brankas bagi dua pegawai Kementerian Keuangan. Keduanya, yaitu mantan Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Permukiman, Yaya Purnomo, dan Kepala Seksi Perencanaan Dana Alokasi Khusus Non-Fisik Rifa Surya, menyewa apartemen itu pada Februari lalu. “Apartemen itu memang disewa keduanya khusus untuk menyimpan duit,” ujar pengacara Yaya, Rony Hartawan, saat dihubungi Jumat pekan lalu.
Diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi pertengahan Mei lalu, Rifa mengatakan apartemen itu menjadi tempat dia dan Yaya menyembunyikan duit hasil pengawalan dana transfer daerah. Menurut Rifa, seperti tertulis dalam dokumen pemeriksaan, semula mereka menyewa apartemen di Menara Safir, juga di Capitol Park, pada September 2017. “Saya dan Yaya sepakat menyewa kamar yang lebih luas dengan tujuan menyembunyikan dan mengamankan uang-uang pemberian dari daerah,” kata Rifa seperti tertulis dalam dokumen tersebut.
Harga sewa kamar di Menara Safir, seperti termuat dalam sejumlah situs properti, bervariasi mulai Rp 50 juta hingga Rp 80 juta per tahun. Penyidik KPK menggeledah kamar itu tak lama setelah mereka menangkap Yaya pada awal Mei lalu. Bersama anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrat, Amin Santono, Yaya diduga menerima gratifikasi senilai Rp 300 juta dari Taufik Rahman, utusan Bupati Lampung Tengah Mustafa. Duit itu diduga bagian dari fee senilai Rp 2,8 miliar guna meloloskan dana alokasi khusus dan dana insentif daerah untuk kabupaten tersebut.
Penyidik KPK kemudian menemukan duit Rp 550 juta dan US$ 13 ribu serta 1,5 kilogram emas di apartemen itu. KPK juga menyita mobil Rubicon milik Yaya dan Rifa. Yaya kini menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, -sedangkan Rifa masih berstatus saksi. Dalam dakwaan Yaya disebutkan bahwa dia dan Rifa diduga telah menerima duit Rp 3,745 miliar, US$ 53.200 (sekitar Rp 771,4 juta), dan Sin$ 325 ribu atau setara dengan Rp 3,4 miliar. Rifa tak merespons permintaan wawancara yang dilayangkan Tempo melalui surat ke rumahnya di kawasan Pasar Minggu dan kantornya di Kementerian Keuangan.
Dalam dokumen pemeriksaan, Rifa mengaku bekerja sama dengan Yaya untuk mendekati pejabat serta kepala daerah dan menjanjikan bisa mengegolkan dana transfer daerah atau duit negara yang disalurkan melalui dana alokasi khusus atau dana insentif daerah. Berkali-kali dia berjumpa dengan utusan kepala daerah atau dengan kepala daerah di sejumlah hotel, restoran, dan mal, bahkan di kompleks Kementerian Keuangan di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Menurut dia, ada pembagian tugas untuk mengegolkan anggaran tersebut. Rifa terutama bertugas mengawal dan memastikan prosedur pengajuan proposal dana alokasi khusus telah dipenuhi.
Rifa juga menghitung besaran anggaran yang bisa didapatkan daerah. “Saya memberikan informasi kepada Yaya terkait dengan besaran dana dan kepastian diterimanya usul daerah,” tutur Rifa. Kepastian itu disampaikan kepada daerah yang meminta bantuan sebelum Kementerian Keuangan mengumumkan secara resmi daftar daerah penerima dan besaran anggarannya.
Ini, misalnya, terjadi pada pengajuan dana alokasi khusus untuk Kota Tasikmalaya. Kepada penyidik komisi antikorupsi, Rifa mengaku bersama Yaya bertemu dengan Wali Kota Tasikmalaya Budi Budiman pada Agustus 2017 di Hotel Aryaduta. Di situ, kata Rifa, Budi meminta bantuan agar usul dana alokasi khusus fisik senilai Rp 50 miliar untuk anggaran 2018 bisa disetujui. Rifa mengaku menerima Rp 200 juta dalam kantong plastik hitam dari staf pemerintah Tasikmalaya, yang dibagi dua dengan Yaya.
Menurut Rifa, pada November 2017, dia kembali mendapat Rp 100 juta. Belakangan, total dana alokasi khusus yang turun untuk kota di Jawa Barat itu sekitar Rp 97 miliar. Alokasi itu terdiri atas dana dinas kesehatan, dana prioritas daerah, serta dana dinas pekerjaan umum dan penataan ruang. Hingga pertengahan September lalu, KPK sudah memeriksa Budi Budiman tiga kali. Budiman mengaku menitipkan proposal dana alokasi khusus kepada Yaya. “Saya serahkan ke KPK semuanya,” ujarnya pada September lalu.
Tak hanya menawarkan bantuan, Rifa dan Yaya juga mendekati anggota DPR yang dianggap bisa membantu mengegolkan dana transfer daerah. Rifa mengaku bersama Yaya bertemu dengan anggota Komisi Keuangan dari Partai Amanat Nasional, Sukiman, di ruang kerjanya di DPR pada April atau Mei tahun lalu. Hadir juga dalam pertemuan itu anggota staf Fraksi PAN, Suherlan. Saat itu menjelang masa akhir pengurusan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan. Pertemuan itu untuk mengegolkan dana alokasi khusus buat Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat, yang diajukan pejabat di Dinas Pekerjaan Umum Arfak senilai Rp 40 miliar.
Anggota Badan Anggaran dari Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Sukiman (tengah), memberikan kesaksian di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 11 Oktober 2018. -ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Rifa mengatakan Sukiman setuju memperjuangkan anggaran dana aspirasi daerah senilai Rp 40 miliar. Menurut Rifa, Sukiman tidak meminta komisi jika dana itu gol. Tapi dia bersepakat dengan rekan-rekannya meminta komisi 7 persen, dan sekitar 5 persen di antaranya diberikan kepada Sukiman. Setelah Pegunungan Arfak dipastikan memperoleh dana transfer daerah, Rifa mendapat fee senilai Rp 2,9 -miliar.
Dari jumlah itu, Rp 1,75 miliar diberikan kepada Sukiman. Rifa mengaku menyerahkan langsung duit itu dalam empat kali kesempatan. “Saya menyerahkan fee secara langsung ke rumah dinas Sukiman di Kompleks DPR di Kalibata,” ujar Rifa seperti tertulis dalam dokumen pemeriksaan.
Sukiman membantah mengenal Suherlan. Dia juga menyangkal menerima komisi dengan mengegolkan anggaran daerah. “Saya ini anggota biasa, tidak tahu apa-apa,” ucapnya. “Saya tak pernah menerima duit apa pun,” kata Sukiman, yang diperiksa KPK pada Agustus lalu. Pengacara Yaya, Rony Hartawan, membantah info bahwa kliennya ikut melobi Sukiman. Dia juga menyanggah kabar bahwa kliennya bisa menentukan disetujui-tidaknya anggaran untuk daerah. “Yaya hanya memberikan informasi kepada daerah.”
Menurut Rifa, di Kementerian Keuangan bukan hanya dia dan Yaya yang bisa membantu mengawal proposal yang diajukan daerah. Dalam dokumen pemeriksaan, Rifa setidaknya menyebut dua pejabat lain yang juga mengambil keuntungan dari dana transfer daerah. Seorang di antaranya bertugas di bagian rumah tangga yang membidangi protokol. Sedangkan satu pejabat lagi bekas atasannya di bagian Dana Alokasi Khusus Fisik Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
Melalui surat, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyatakan Kementerian Keuangan mendukung penuh proses hukum terhadap jajarannya. “Kementerian Keuangan tidak akan menoleransi praktik percaloan, penyalahgunaan informasi, atau berbagai penyelewengan kewenangan, dan terutama korupsi,” demikian tertulis dalam surat kepada Tempo.
PRAMONO, RAYMUNDUS RIKANG
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo