Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Psoriasis tidak hanya menyerang fisik namun juga psikologis penderita. Para penderita psoriasis kerap mendapatkan stigma negatif dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya kondisi khas terhadap kulit, para penyintas sering dianggap sebelah mata oleh orang-orang di sekitar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Chiara Lionel Salim adalah penyintas dan menderita psoriasis sejak kecil. Bahkan, hingga saat ini ia masih berjuang karena masih ada lesi di kakinya. Memiliki latar belakang keluarga yang mendukung penuh, ia pun mendirikan kanal dan komunitas daring Psoriasis Indonesia. Hingga saat ini, sudah ada sekitar 18 ribu anggota daring yang menjadi ajang saling menguatkan dan berbagi pengalaman penyintas dan pejuang psoriasis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berangkat dari stigma negatif itu, perusahaan dermatologi Erha mengadakan edukasi di sejumlah kota di Tanah Air, termasuk di Denpasar, kepada para penyintas psoriasis untuk membantu mengendalikan penyakit tersebut. Chief Corporate Affaris Officer Arya Noble Group (ERHA), Andreas Bayu Aji, menjelaskan dalam program edukasi itu para penyintas diajak berinteraksi sosial, yakni saling berbagi pengalaman dan saling menguatkan. Pasalnya, penyintas psoriasis rentan mengalami diskriminasi dari masyarakat karena kondisi yang khas di kulitnya.
Dalam edukasi juga diberikan konsultasi langsung dengan para spesialis kulit dan kelamin, termasuk melakukan yoga yang membantu mengelola emosi dan stres karena stres memicu penyakit tersebut kambuh. Yoga dinilai dapat membantu meringankan nyeri sendi, meningkatkan rentang gerak, serta mengendalikan stres melalui meditasi.
Selain stres, gaya hidup, infeksi tenggorokan, minuman beralkohol, hingga cedera pada kulit juga berpotensi memicu psoriasis kambuh. Bersosialisasi dengan sesama pasien sangat membantu untuk membangun kepercayaan diri dengan kondisi yang dialami.
Stigma negatif psoriasis juga membuat tak banyak penderita yang terbuka sehingga pendataan jumlah kasus pun belum diketahui pasti. Namun, kegiatan edukasi tersebut dihadiri oleh sekitar 40 penyintas psoriasis di Bali, yang tentunya data tersebut belum merepresentasikan akurasi.
Penanganan psikologis
Dokter spesialis kesehatan jiwa dari Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Bangli, Bali Made Wedastra menilai stigma negatif psoriasis memberikan pengaruh kepada psikologis penderita salah satunya berpotensi mengalami depresi.
Apabila ditangani psikiater, penanganan yang diberikan di antaranya memberikan penguatan melalui edukasi berupa psikoedukasi kepada pasien dan keluarganya agar ada pemahaman lebih baik terkait penyakit tersebut.
Selain itu, psikiater lulusan Universitas Udayana Bali itu juga memberikan psikoterapi, terutama terapi perilaku kognitif untuk menanamkan pemahaman positif dalam pola pikir pejuang psoriasis. Penguatan juga dilakukan dengan meregulasi emosi, sehingga emisi dapat dikendalikan dan meningkatkan rasa percaya diri. Harapannya, produktivitas meningkat dan tetap berkarya tanpa ada stigma buruk.
“Mereka harus bersahabat dengan penyakit itu, mengenali gejala yang muncul, dan tahu perilaku apa yang harus dilakukan saat gejala muncul,” jelasnya.
Edukasi berperan penting untuk mengubah stigma negatif menjadi dampak positif, tak hanya pada kondisi psikis penyintas psoriasis tapi juga keluarga dan lingkungan sekitar, sehingga bisa saling menguatkan dan bersama menghadapinya.
Pilihan Editor: Alasan Endometriosis Disebut sebagai Penyakit Perkotaan