Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah partai politik mengadang Anies Baswedan jadi calon presiden 2024.
Kemenangannya dalam pemilihan Gubernur Jakarta pada 2017 mengganduli Anies menjadi beban sekaligus modal politik.
Faktor Jokowi membuat pertarungan menjadi RI-1 kian rumit.
KEMENANGANNYA dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 menjadi modal sekaligus beban bagi karier politik Anies Baswedan. Dua sisi berlawanan itu akan menentukan peluangnya pada pemilihan presiden 2024. Di tengah pergulatan personalnya, ia mesti bernegosiasi dengan partai politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Modal terbesar Anies adalah panggung besar DKI-1. Posisi strategis ini menyediakan lampu sorot yang terang baginya. Publikasi media massa dan sokongan serta cercaan di media sosial membuat namanya terus dibicarakan. Keistimewaan Provinsi Jakarta juga memungkinkan ia menjalankan aneka program tanpa terkendala daerah administratif di bawahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Posisi politik yang dikesankan berseberangan dengan Presiden Joko Widodo—juga akibat pemilihan Gubernur DKI—memperbesar modal politik Anies. Ia mendapat limpahan dukungan dari kelompok anti-Jokowi. Antara lain dari sebagian besar penyokong Prabowo Subianto, yang dikalahkan Jokowi pada pemilihan presiden 2014 dan 2019–meski belakangan bergabung ke pemerintahan.
Modal politik itu mengerek popularitas dan elektabilitas Anies yang kini masuk tiga besar calon presiden 2024 versi sejumlah lembaga survei. Dua lainnya adalah Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo, yang telah dua periode menjadi Gubernur Jawa Tengah. Pertengahan Juni lalu, Partai NasDem mengumumkan Anies sebagai satu dari tiga calon presiden bersama Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Andika Perkasa dan Ganjar.
Kemenangan 2017 juga membubuhkan noda hitam bagi Anies. Pertarungan brutal dengan gubernur inkumben, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, seketika menempatkannya pada sudut “ekstrem kanan”. Ia dianggap menggunakan politik identitas buat mendapatkan suara. Tuduhan itu sulit ditepis karena kelompok penentang Ahok—terutama yang mengerahkan massa buat memprotes pernyataannya soal “Surat Al-Maidah 51 dipakai untuk membohongi umat”—terang-terangan mendukungnya.
Anies pun tak tegas bersikap terhadap berbagai politisasi agama oleh pendukungnya. Pada titik tertentu, ia bahkan menumpang gelombang fanatisme itu. Misalnya, ia hadir di markas Front Pembela Islam, organisasi yang kemudian dibubarkan pemerintah Jokowi. Anies yang pada 2014 menjadi bagian terdalam tim pemenangan Jokowi saat pertama kali mengalahkan Prabowo juga beralih haluan. Ia menjadi calon Gubernur DKI dari Partai Gerindra yang dipimpin eks menantu Presiden Soeharto itu.
Hingga tahun terakhir periode kepemimpinannya di Jakarta, Anies terus diganduli pertarungan 2017. Apalagi kelompok penentangnya mendorongnya agar terus berada pada citra konservatif. Dalam konteks ini, mudah ditebak, Anies berusaha lepas dari kotak tersebut untuk memperluas basis konstituen.
Dua politikus cum pengusaha, Surya Paloh dan Jusuf Kalla, menjadi penyokong Anies buat kembali mendapatkan legitimasi dalam mengkampanyekan “tenun kebangsaan”, istilah yang dulu ia populerkan tapi ditanggalkan pada pemilihan kepala daerah DKI. Surya, Ketua Umum Partai NasDem, serta Kalla, wakil presiden di era Susilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi, berusaha menyediakan tiket pencalonan: koalisi partai dengan 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau 25 persen perolehan suara Pemilihan Umum 2019. Mereka mendekati partai-partai nasionalis buat mengimbangi partai berbasis massa Islam yang besar kemungkinan masuk ke gerbong ini.
Konstelasi politik bisa makin rumit dengan menghitung faktor Jokowi, yang akan berperan besar dalam menentukan penggantinya. Kedekatan partai dan irisan basis pendukungnya membuat Jokowi mungkin mendukung Ganjar Pranowo. Namun, pada saat yang sama, ia ada kemungkinan menaruh “sebagian telurnya di keranjang lain”, termasuk di keramba Anies Baswedan.
Maka beban politik Anies akibat pemilihan 2017 kini diperburuk oleh jebakan masa depan: ketergantungannya pada elite partai politik, yang telah menjadi kartel—beban serupa dihadapi kandidat lain yang tidak punya “kendaraan” sendiri, termasuk Ganjar. Desain pemilihan dengan ambang batas minimal pencalonan yang begitu besar menempatkan elite partai pada posisi dominan. Lanskap politik semacam itu mesti dirombak buat memperbesar ruang partisipasi publik dalam menentukan pemimpin negara.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo