Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJARAH dirundung pelbagai obsesi. Di antara kita, “Barat” adalah salah satunya. “Barat” membuat kita cemas, gagap, terkesima. Ia mengancam tapi juga menggoda dan menggerakkan manusia di Timur—kalaupun ada yang secara jelas disebut “Timur”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak lahir dunia modern, bahkan sejak penjelajahan yang mewakili kerajaan-kerajaan Eropa, “Barat” membayang-bayangi bangsa-bangsa di Asia dan Afrika. Penindasan dan revolusi, sakit hati dan kekerasan—dengan “Barat” sebagai obsesi—berdatangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi membaca sejarah mirip membaca peta tua yang menunggu diubah. Tahun 2020 ini terbit God’s Shadow: Sultan Selim, His Ottoman Empire, and the Making of the Modern World oleh Alan Mikhail, sejarawan dari Universitas Yale. Buku ini mengguncang cara memandang masa lalu: bukan lagi meletakkan “Barat” sebagai pusat dan pemegang hegemoni dunia, seperti berulang-ulang dipaparkan selama berabad-abad. Mikhail menunjukkan, di tahun 1500, bahkan 1600, “tak ada pengertian ’Barat’ yang kini dengan gagah dikibarkan.” Sepanjang awal abad-abad modern, Benua Eropa terdiri atas “kumpulan rapuh kerajaan yang cerai-berai serta pelbagai wilayah kekuasaan yang kecil dan lemah yang terkurung dalam perang terus-menerus”.
Di kancah itu, pemegang hegemoni—yang membayang-bayangi politik internasional masa itu, yang menghantui Eropa dengan gentar dan cemas—adalah Daulat Turki Usmani. Di bawah dinasti Usmani, Turki menguasai wilayah Eropa lebih luas ketimbang kerajaan Eropa mana pun. Memang ia kemudian merosot; ia pernah sampai pada titik nadir dan diejek sebagai “si sakit dari Eropa” dan setelah Perang Dunia I roboh. Tapi, mungkin karena tak ada pesaing yang setara dari Eropa, kesultanan ini bertahan selama lebih dari 600 tahun.
Tak terelakkan, sebuah imperium penakluk harus terus-menerus terlibat konflik untuk mengukuhkan kekuasaan. Namun, berbeda dengan pengalaman Imperium Romawi di masa gemilangnya, dalam konflik Turki Usmani ada yang berkelindan dengan senjata: agama.
Tak jelas kenapa berabad-abad itu “Islam” (apa pun tafsirnya) dan “Kristen” (apa pun artinya) bersengketa dengan darah dan besi. Yang jelas konflik yang rumit dan tragis itu—yang mungkin dipicu soal-soal duniawi—tak pernah bisa selesai. Mungkin itu sebabnya Alan Mikhail tak hanya menceritakan kekuasaan di Istanbul di bawah Selim. Buku ini dimulai dengan menarik: cerita sebuah kota di perbatasan Texas dan Meksiko.
Kota itu bernama Matamoros. Mata, kata kerja bahasa Spanyol, matar, berarti “membunuh”. Moros adalah sebutan orang Kristen untuk orang Islam, yang sejak 711 sampai 1492 hidup bersama di kerajaan-kerajaan kecil yang kemudian bergabung dan disebut “Spanyol”. Matamoros berarti “pembunuh muslim”—sebutan penghargaan warga Kristen untuk para pendekarnya dalam perselisihan berabad-abad yang lalu itu. Kota di perbatasan Texas dan Meksiko itu tak punya sejarah persengketaan itu; ia mendapatkan namanya dari orang Spanyol yang menaklukkan Amerika di abad ke-16 dengan membawa obsesi dari Eropa.
Obsesi itu “Islam”. Sebenarnya “Turki”. Dalam God’s Shadow, Alan Mikhail bahkan menunjukkan Columbus sebagai matamoros. Menurut Mikhail, penemu Amerika itu bertekad berlayar ke dunia yang belum dikenal bukan untuk menemukan rempah-rempah, melainkan untuk melawan “Islam”.
Columbus orang Italia dari Genoa, kota pelabuhan penting tempat pelayaran dunia datang dan pergi. Nasib, ambisi, dan kelihaian membawanya ke Portugal, lalu ke Spanyol, dengan niat mendapatkan dukungan buat proyek pelayaran ke India, tanah yang entah yang lama ia mimpikan. Ia mendekati Isabella, ratu Kerajaan Kastilia yang sedang menggempur Kerajaan Cordoba yang muslim. Ia bahkan ikut bergabung ke dalam pasukan Kastilia, yang akhirnya menang, mengakhiri sejarah orang Islam di Spanyol untuk selamanya.
Dengan nada gembira Columbus menulis kepada Sri Ratu: “Pada 2 Januari 1492, ketika Paduka mengakhiri perang dengan orang Mur yang berkuasa di Eropa, hamba lihat panji-panji Paduka dikibarkan megah di atas menara Alhambra, benteng penjaga kota itu, dan raja orang Mur pun keluar dari gerbang kota mencium tangan Paduka.”
Columbus akhirnya berhasil mendapatkan yang ia inginkan. Kepada Isabella ia berjanji akan sampai ke India. Di sana—seperti yang ia imajinasikan dari kisah perjalanan Marco Polo—bertakhta Khan yang Agung, yang sudah membuka hatinya untuk Yesus. Mikhail menyebut bahwa Columbus yakin: dengan dukungan tentara Khan, dunia Kristen akan bisa mengalahkan Turki dan Islam. Yerusalem akan bisa direbut kembali.
Kita tahu ia tak pernah sampai ke tujuan. Tiga buah kapalnya hanya sampai ke benua yang tetap disangkanya India ketika ia meninggal di Valladolid, Spanyol, 20 Mei 1506. Tapi dalam salah sangka dan paranoia itu ia tak sendiri. Orang Spanyol yang datang kemudian tetap membawa hantu perang menghadapi Islam ketika bersua dengan orang-orang lokal (“Indian”) di Benua Baru: senjata, pakaian, dan tarian bangsa Aztec mereka anggap variasi tradisi Mur. Kemudian, kita tahu, bangsa itu mereka bantai.
Sejarah dirundung macam-macam obsesi—apalagi jika ada surga di bumi dan di langit yang dijanjikan. Terkadang berhasil, tak jarang dengan mayat yang bergelimpangan.
GOENAWAN MOHAMAD
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo