Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH saatnya industri farmasi kita tak lagi bergantung pada bahan baku impor. Tak kurang dari 96 persen bahan baku obat kimia kita sekarang berasal dari luar negeri alias impor. Padahal riset Kementerian Kesehatan pada 2017 mencatat ada 11.218 jenis tanaman obat di Indonesia. Ironisnya, industri farmasi nasional baru memproduksi 24 jenis obat fitofarmaka atau obat dari bahan alam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada sejumlah faktor yang membuat pengembangan obat fitofarmaka Indonesia bergerak laksana siput. Keengganan para pelaku industri farmasi di dalam negeri setidaknya berfokus pada dua hal ini: biaya riset yang mahal dan permintaan pasar yang masih sedikit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penelusuran majalah ini menemukan bahwa proses pengembangan obat fitofarmaka memang cukup berliku dan butuh biaya relatif besar. Untuk naik kelas, obat herbal berbentuk jamu, misalnya, harus melalui uji praklinis selama enam bulan dengan biaya Rp 500 juta-1 miliar. Jika lolos, barulah jamu itu bisa mendapat label obat herbal terstandar. Setelah itu, untuk bisa jadi obat fitofarmaka yang khasiatnya diakui setara dengan obat kimia, obat herbal terstandar harus melalui uji klinis selama dua-tiga tahun dengan biaya sampai Rp 1-2 miliar.
Pada saat yang sama, jumlah dokter yang mau meresepkan obat alam ini untuk pasien juga masih terbatas. Apalagi obat fitofarmaka memang belum masuk formularium nasional atau daftar obat yang direkomendasikan dipakai layanan jaminan kesehatan, termasuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.
Karena itu, wajar jika tidak banyak perusahaan farmasi nasional yang berani berinvestasi untuk riset dan pengembangan obat fitofarmaka di negeri ini. Dalam konteks itu, janji Menteri Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro memberikan insentif pajak bagi perusahaan farmasi yang mau melakukan riset obat jenis ini bisa jadi pemicu yang positif. Menteri Bambang juga berkomitmen mempertemukan peneliti dan industri farmasi. Namun intervensi pemerintah semacam itu tentu ada batasnya. Apalagi jika pasar obat fitofarmaka belum terbentuk secara alamiah.
Langkah pertama untuk membenahi kondisi ini adalah menambah jumlah dokter yang memahami keberadaan dan manfaat obat fitofarmaka. Mengubah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 54 Tahun 2018 tentang Penyusunan dan Penerapan Formularium Nasional dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan bisa jadi salah satu cara. Setelah itu, barulah asosiasi industri farmasi perlu bekerja sama mendorong kampanye publik bersama Ikatan Dokter Indonesia dan asosiasi tenaga medis lain agar khalayak lebih mengerti khasiat obat fitofarmaka.
Komitmen Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk membantu perusahaan farmasi yang melakukan uji praklinis dan uji klinis obat fitofarmaka tentu bisa berperan positif. Namun standar uji medis tak boleh dilonggarkan demi produksi massal obat fitofarmaka. Kualitas fitofarmaka harus teruji betul secara sains sebelum bisa merebut kepercayaan khalayak ramai.
Akhirnya, semua insentif itu tak bakal menuai hasil jika infrastruktur serta kualitas riset medis dan farmasi kita tak berkembang. Universitas dan lembaga penelitian perlu didukung untuk mengembangkan riset dengan berbagai skema. Hanya negara dengan iklim dan infrastruktur riset yang kuat yang bisa melahirkan banyak inovasi. Tanpa itu, kekayaan tanaman obat kita perlahan bisa hilang seiring dengan berkurangnya hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo