Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bambang Sugeng*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika mengalihkan bahasa, saya sering kelabakan mencari-cari padanan kata. Sebaris kalimat ugahari yang tak sulit-sulit amat adakalanya ditimbang-timbang cukup lama. Ambil contoh frasa verbal yang terkenal ini: kunduran trek (Jawa). Apakah kita indonesiakan menjadi “keunduran truk”, “terunduri truk”, atau “tertabrak truk mundur”?
Terjemahan adalah karya seni yang terlahir dari persilangan wacana dwibahasa. Menerjemahkan adalah tindakan berkesenian dengan cara membolak-balikkan kata, frasa, dan klausa berwujud aksara tanpa menjungkirbalikkan makna. Terjemahan merupakan hasil perbuatan karang-mengarang tak bebas yang berpatokan pada ide yang tertuang, semacam karya tulis yang diejawantahkan berdasarkan kerangka acuan yang terhidang.
Lebih dari itu, menerjemahkan tak melulu mengalihkan bahasa, tapi juga mengusung norma dan unsur budaya yang berlaku di lingkungan sidang pembaca. Ada nuansa makna yang hanya dapat dirasakan penutur jati, ada pula kaidah bahasa serta faktor nonbahasa yang khas dan tidak bisa direproduksi mesin penerjemah secanggih Google Translate, misalnya.
Lain padang, lain belalang. Dalam bahasa Inggris, misalnya, pronomina you digunakan untuk menyapa sembarang orang secara sama rata tanpa mempertimbangkan tata krama, sedangkan bahasa Indonesia punya varian kamu, engkau, anda, dan saudara. Masing-masing merujuk pada mitra wicara dengan derajat yang berbeda-beda seturut usia, kedudukan, keresmian, atau kedekatan. Bagaimanapun, kita patut bersyukur, bahasa Inggris menjadi persinggahan umum bagi bahasa asing lain sebelum akhirnya bermuara ke dalam bahasa kita. Kalau tidak, kemajuan peradaban bisa-bisa terhambat karena keilmuan dan pengetahuan datang terlambat.
Karya terjemahan sepatutnya disajikan seapik mungkin hingga terasa selaras dengan teks sumbernya, baik secara semantis (maknawi) maupun sintaktis (struktural). Kalau tidak, sidang pembaca bakal merasakan kejanggalan, laksana menyantap bubur ayam rasa bubur kacang ijo. Contohnya “Hujan kucing dan anjing” untuk “It's raining cats and dogs” atau “Dia seorang cacing buku” untuk “She/He is a bookworm”.
Kekeliruan dalam penerjemahan bisa berakibat fatal. Misalnya kesalahan terjemahan pada petunjuk penggunaan obat-obatan atau peralatan kedokteran. Terjemahan yang tidak cermat juga bisa mendorong orang bersikap radikal dalam beragama.
Karena akrab dengan kamus dan tesaurus, saya kerap memergoki kata yang terpendam. Saya baru tahu, selain terjemah dan alih bahasa, ternyata ada kata pertal, yang sudah lama mati. Penampakan kata ini tak ternyana karena tak pernah terbahana dan tak jelas juntrungannya. Entah kapan pertal pernah dipakai. Dugaan saya benar, ragam cakapan ini rupanya warisan Belanda, vertalen. Anehnya, meski sama-sama kata serapan, pertal kalah pamor dibanding terjemah. Padahal ragam cakapan biasanya gampang populer. Sebut saja beken, blusukan, abal-abal, dan amburadul. Untuk pengayaan kosakata, seyogianya pertal dihidupkan kembali. Selain ringkas, kata ini sudah terekam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sehingga kedudukannya lebih mapan ketimbang translet, yang acap kita baca di tiang-tiang listrik.
Peradaban terus berkembang, laju percepatan inovasi di bidang teknologi informasi dan komunikasi tak terbendung, hingga merambah dunia penerjemahan. Sudah sekian lama, proses pemertalan bisa dijalankan dengan mesin berbasis kecerdasan buatan seperti Google Translate (GT), mesin penerjemah paling laris sejagat. Menurut Wikipedia, hingga Juni 2020, GT sudah melayani 500-an juta pengguna dengan 100-an miliar kata pertalan per hari yang meliputi 109 bahasa, dari Afrikaans sampai Zulu.
Dengan sekali klik, mesin cerdas ini mampu secepat kilat mengungguli kecekatan manusia dalam memproses lokalisasi narasi berita (nonsastra) dengan tingkat kecermatan lumayan. Hampir setiap kata teralihkan dengan baik. Selebihnya menjadi tugas penerjemah tulen untuk memolesnya. Celakanya, manusia menjadi manja dan malas menyunting. Lihat saja, beragam berita dunia di media daring dibiarkan belepotan tata bahasanya. Bukan kualitas sajian, melainkan kuantitas suguhan yang diutamakan.
Bagaimanapun, penerjemah tulen tetap unggul dalam segala hal karena bahasa adalah ungkapan rasa dan buah pikiran dari makhluk yang berjiwa. Jadi sentuhan manusia selalu diperlukan walau, sampai batas tertentu, peran penerjemah kelak—mungkin saja—berubah menjadi penyunting.
GT adalah hibah paling akbar di bidang penerjemahan. Kehadirannya meringankan tugas manusia sehingga mereka tak perlu repot-repot mengetik dan membalik-balik halaman kamus. Bagi saya, GT telah menjadi alat bantu yang layak disyukuri sekaligus pesaing hebat yang tak perlu diwaspadai.
*) Penerjemah
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo