Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IBARAT balapan, masyarakat Mandalika tercecer di urutan belakang pembangunan sirkuit di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Mereka adalah prioritas terendah dalam proyek mercusuar pemerintah Presiden Joko Widodo itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arena balapan di Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika mulai dibangun pada Oktober tahun lalu. Proyek ini ditargetkan rampung pada Juni 2021, empat bulan sebelum digelar adu balap sepeda motor MotoGP 2021. Pengelola sirkuit menyatakan telah mengantongi kontrak menjadi tuan rumah MotoGP dan World Superbike selama tiga musim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perusahaan konstruksi asal Prancis mengerjakan lintasan balap sepanjang 4,32 kilometer dengan 18 tikungan. Sebagian lahan yang digunakan merupakan enclave, yang dihuni 151 keluarga. Pembuatan fasilitas balapan berada di atas lahan yang sebagian besar masih merupakan obyek sengketa kepemilikan. Sudah bisa diduga, proyek memantik konflik dengan masyarakat sekitar.
Masyarakat di kawasan Mandalika, yang diklaim bakal menikmati manfaat ekonomi kelak setelah balapan digelar, tak pernah diajak bicara. Perusahaan negara pengelola kawasan ekonomi khusus, PT Indonesia Tourism Development Corporation, bahkan segera menggusur mereka dengan bantuan aparat keamanan. Sejumlah penduduk, kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, melaporkan intimidasi dalam proses pembebasan lahan. Mereka menyatakan terus didatangi tentara dan polisi agar segera meninggalkan lahan bakal area balapan.
Pelibatan tentara dan polisi untuk menggusur masyarakat itu tidak patut. Apalagi pengembang juga melaporkan secara pidana penduduk yang memilih bertahan dengan tuduhan menggunakan tanah tanpa izin. Majelis hakim Pengadilan Negeri Praya menghukum terdakwa dua bulan penjara dengan masa percobaan enam bulan. Beruntung, Pengadilan Tinggi Mataram membatalkan putusan itu.
Proyek-proyek infrastruktur era Jokowi sering kali memantik konflik lahan seperti itu. Konsorsium Pembaharuan Agraria mencatat 83 proyek infrastruktur yang memicu konflik agraria sepanjang tahun lalu. Menurut lembaga nirlaba itu, sengketa dipicu kebijakan agraria yang masih didominasi kerangka berpikir developmentalistik, memandang sumber agraria dan alam sebagai aset pembangunan. Pembangunan proyek infrastruktur digeber demi keuntungan pebisnis walau harus menggusur penduduk dan merusak alam.
Pada umumnya, demi mengejar target waktu proyek, pengembang menitipkan uang konsinyasi ke pengadilan. Masyarakat yang berkeberatan, termasuk pada nilai ganti rugi, lalu dipaksa pergi. Hal itu pula yang terjadi di Mandalika. Pendekatan semacam ini memang cepat “menyelesaikan persoalan”, tapi menjauhkan esensi pembangunan, yaitu demi meningkatkan harkat dan martabat manusia.
Pemerintah semestinya segera membenahi tata kelola pembangunan infrastruktur itu. Tanpa perbaikan, berbagai proyek yang menjadi andalan pemerintah Jokowi akan selalu meletupkan konflik agraria. Proyek infrastruktur, menurut Konsorsium Pembaharuan Agraria, berada di posisi kedua penyumbang terbesar konflik pertanahan. Masyarakat perlu dilibatkan sejak awal agar mereka bisa memperoleh manfaat terbesar dari proyek yang sedang dikerjakan.
Pemahaman bahwa konflik semata akibat kekurangan pemenuhan ganti rugi juga perlu diubah. Banyak masyarakat berkeberatan tercerabut dari akarnya, tempat tinggal yang mereka diami sejak lahir. Dialog secara manusiawi adalah cara terbaik meski, mungkin, memakan waktu lebih panjang. Masyarakat di sekitar Mandalika tidak semestinya tercecer dalam pertunjukan simbol kemajuan Indonesia: balapan sepeda motor yang digelar setahun sekali.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo