Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMUNISME sudah lama bangkrut, baik sebagai ideologi maupun gerakan politik. Negara yang mengaku komunis, seperti Cina dan Kuba, jelas-jelas kini menerapkan ekonomi pasar. Meski begitu, sebagian elite politik di negeri ini masih saja gemar mengungkit-ungkit lagu lama soal Partai Komunis Indonesia (PKI) dan bahaya komunisme.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiap tahun, menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober, isu murahan ini kembali diembuskan. Tahun ini hantu komunisme kembali dibangkitkan ketika sejumlah pihak menuding politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Arteria Dahlan, adalah cucu kader PKI. Tudingan keliru ini viral di Internet dan memicu perdebatan riuh-rendah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belakangan, Jenderal (Purnawirawan) Gatot Nurmantyo ikut memanaskan situasi. Dia mengklaim pencopotannya sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia tiga tahun lalu dipicu oleh perintahnya kepada tentara untuk ramai-ramai mengajak warga menyaksikan kembali film propaganda lawas bikinan Orde Baru tentang peristiwa G-30-S. Menurut dia, ada sejumlah pihak yang ingin mengaburkan sejarah mengenai keterlibatan PKI dalam peristiwa pembunuhan sejumlah perwira TNI Angkatan Darat pada 1965.
Polemik ini memprihatinkan karena sejumlah alasan. Pertama, berbagai kajian sejarah mengenai peristiwa September 1965 sebenarnya sudah cukup lengkap tersedia. Penelitian atas berbagai arsip dokumen penting pada era itu menunjukkan ada banyak aktor yang terlibat dalam peristiwa tragis tersebut. Sebagian adalah kader PKI, sebagian lainnya adalah perwira militer sendiri. Yang jelas, tragedi 30 September 1965 kemudian menjadi alasan untuk rangkaian pembunuhan massal atas ratusan ribu anggota dan simpatisan PKI di seluruh Indonesia.
Kedua, kita sama-sama mafhum bahwa isu komunisme ini sebenarnya komoditas politik belaka. Para politikus yang mewakili kubu Islam konservatif kerap menggunakannya untuk menekan lawan mereka dan meraih simpati konstituen. Gencarnya isu komunisme selama Presiden Joko Widodo memerintah, misalnya, menunjukkan ada persoalan kronis dalam hubungan antara kubu nasionalis yang sekarang berkuasa dan kubu Islam.
Ironisnya, sebagian publik memang masih percaya kepada hantu PKI. Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting yang baru dilansir pekan lalu menunjukkan ada 14 persen responden yang masih percaya kepada mitos ini. Jumlah itu cukup besar dan menunjukkan berhasilnya para politikus memelihara isu lapuk ini selama lebih dari setengah abad.
Di tengah perdebatan usang soal bahaya komunisme, kita kerap melupakan korban sebenarnya dari polemik ini. Mereka adalah anak-cucu korban pembantaian 1965 dan para mantan tahanan politik Orde Baru. Hingga kini mereka terus memperjuangkan hak-hak politik, sosial, dan ekonomi yang seharusnya mereka terima sebagai warga negara.
Banyak dari mereka yang dihantui trauma setelah orang tua mereka hilang atau dibunuh. Para tapol yang ditahan bertahun-tahun tanpa proses pengadilan juga kehilangan periode penting dalam hidup mereka. Stigma sebagai mantan anggota atau anak-cucu PKI sampai sekarang terus menyulitkan keseharian mereka.
Satu-satunya cara menghentikan zombie komunisme di negeri ini adalah dengan menyelesaikan tragedi 1965 secara politik dan hukum. Pemerintah sebenarnya pernah mempersiapkan sejumlah upaya ke arah sana. Bahkan Presiden Joko Widodo sendiri pernah berjanji menyelesaikan semua kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Tanpa itu, kita akan selalu terjebak dalam daur ulang isu komunisme dan membiarkan luka lama para korban terkorek lagi, setiap tahun.
Catatan: Artikel ini telah mengalami perubahan pada Senin, 5 Oktober 2020 pukul 14.20 untuk memperbaiki akurasinya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo