Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPEMILIKAN ribuan hektare lahan oleh bekas Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dan keluarganya di Banyuasin, Sumatera Selatan, menunjukkan reformasi agraria masih jauh dari harapan. Masih ada ketidakadilan dalam penguasaan tanah. Kepemilikan lahan yang amat luas itu jelas kurang patut di tengah banyaknya petani yang tidak mempunyai lahan sama sekali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Badan Pertanahan Nasional semestinya meneliti secara cermat kepemilikan lahan Ryamizard dan keluarganya. Tapi yang dilakukan BPN justru sebaliknya, yakni menerbitkan sertifikat hak milik atas tanah tersebut. Penerbitan sertifikat ini amat janggal lantaran Undang-Undang Pokok Agraria 1960 jelas melarang kepemilikan lahan perseorangan melebihi 20 hektare.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Larangan yang bertujuan mencegah ketimpangan penguasaan lahan itu juga dipertegas oleh peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang yang terbit pada 2016. Orang yang telanjur memiliki lahan yang melampaui ketentuan itu diwajibkan mengalihkan kepemilikannya kepada pihak lain. Negara juga bisa menyita tanah tersebut jika pemiliknya tak segera menjualnya.
Pemerintah seharusnya mencium keanehan proses penguasaan lahan oleh Ryamizard, yang kini disewakan untuk lokasi Kawasan Ekonomi Khusus Sumatera Selatan. Dia mengklaim memiliki lahan seluas 2.170 hektare itu sejak 1995 setelah membeli dari sejumlah ahli waris pemilik tanah. Proses pembelian ini mencurigakan karena lahan tersebut sempat masuk kawasan konservasi. Pada 2016, lahan itu dinyatakan sebagai bagian Taman Lindung Pantai Air Telang sesuai dengan keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.
Ryamizard, yang ketika itu masih Menteri Pertahanan, kemudian menyurati Menteri Siti Nurbaya. Dalam suratnya, ia meminta agar lahannya dikeluarkan dari area hutan lindung. Tak sampai setahun, Menteri Siti mengabulkan permohonan itu. Keputusan ini terkesan gegabah dan tidak didukung pelacakan yang memadai. Apalagi ada kejanggalan dalam sejarah kepemilikan lahan itu. Kepala desa, misalnya, mengaku tidak mengenal pemilik lahan atau ahli waris yang bertransaksi dengan Ryamizard.
Belum terlambat bagi pemerintah untuk mengusut lagi keabsahan kepemilikan lahan Ryamizard dan keluarganya. Pemerintah perlu membentuk tim independen guna menelusuri riwayat kepemilikan lahan tersebut. Saat lahan itu ditetapkan sebagai bagian kawasan hutan lindung tentu telah melalui penelitian. Kenapa keputusan itu begitu mudah dimentahkan lagi?
Penegak hukum seharusnya pula turun tangan menyelidiki kasus tanah tersebut, dari riwayat tanah, proses pembeliannya, hingga penerbitan sertifikat. Langkah ini bisa dilakukan kepolisian, kejaksaan, atau Komisi Pemberantasan Korupsi. Aparat penegak hukum perlu membongkar dugaan permainan tak elok di balik proses penguasaan tanah itu. Pejabat yang mengeluarkan sertifikat hak milik tanah tersebut juga perlu diusut.
Pemerintah seharusnya berani menertibkan kepemilikan lahan yang tak wajar, tanpa pandang bulu. Tanpa adanya sikap tegas dan kebijakan yang konsisten, reformasi agraria yang didengung-dengungkan oleh Presiden Joko Widodo hanya akan menjadi slogan kosong. Ketimpangan kepemilikan tanah tetap terjadi dan banyak petani yang gigit jari.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo