Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
TEMUAN Tempo dalam investigasi impor bawang putih membuktikan sistem kuota impor komoditas tak layak diteruskan. Sistem ini membuka peluang korupsi dan menjadi bancakan para pemburu rente. Ujung-ujungnya yang rugi adalah konsumen dan orang banyak. Dengan sistem kuota, komoditas impor dikuasai segelintir orang yang bisa menimbun dan menggelontorkannya ke pasar sesuka hati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekeliruan ini berawal dari kesalahan konsep yang mendasar. Pada 2017, ketika Menteri Pertanian dijabat Amran Sulaiman, pemerintah mencanangkan swasembada untuk semua jenis pangan strategis: dari gula, bawang putih, hingga kedelai. Angan-angan muskil itu hendak diwujudkan dengan strategi yang kontraproduktif: melibatkan para pengusaha sebagai importir sekaligus petani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak itulah para pengusaha didorong menanam komoditas dengan iming-iming mendapatkan kuota impor selama produksi dalam negeri belum menutup jumlah konsumsi. Setiap tahun, Indonesia membutuhkan rata-rata 500 ribu ton bawang putih karena produksi lokal hanya tersedia 4 persen. Bawang putih adalah tanaman subtropis yang susah tumbuh di iklim tropis Indonesia.
Menteri Amran menetapkan swasembada kudu tercapai pada 2021. Selama empat tahun, para importir dikenai wajib tanam seluas 5 persen dari kuota impor yang mereka ajukan dikali produktivitas lahan yang ditetapkan 6 ton per hektare. Karena tak punya lahan, para importir diizinkan menggandeng petani untuk menanam bawang putih di lahan yang mereka punya.
Dari cara ini saja sudah terlihat peluang akal-akalan. Para importir tentu tak akan peduli bawang yang mereka tanam tumbuh atau puso karena motif mereka sekadar mendapatkan kuota impor demi memperoleh untung sebesar mungkin. Perhitungan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan menyebutkan keuntungan mengimpor bawang dari Cina pada 2018 sebesar Rp 8,3 triliun.
Hitung-hitungannya sederhana. Satu kilogram bawang putih di Cina mereka beli Rp 7.900, lalu dijual di Indonesia Rp 24 ribu. Margin besar itu adalah angka minimal ketika harga bawang di dalam negeri sedang normal. Untung makin berlipat ketika harganya naik akibat pasokannya seret, seperti terjadi sejak awal Januari 2020 yang membuat harga bawang tembus Rp 46 ribu.
Dengan margin rata-rata Rp 20 ribu saja pengusaha yang mendapatkan kuota mengimpor 10 ribu ton bawang akan memperoleh untung Rp 200 miliar. Iming-iming keuntungan luar biasa besar membuat peluang korupsi pun muncul. Sejumlah importir mengaku diminta menyetor Rp 1.000-3.000 per kilogram bawang yang mereka impor untuk mendapatkan surat persetujuan impor dari Menteri Perdagangan sebelumnya, Enggartiasto Lukita.
Di lapangan, wajib tanam juga tak mulus. Kementerian Pertanian mencatat separuh importir, dari total 75 perusahaan per tahun, gagal memenuhi kewajiban menanam bawang. Bagi mereka yang gagal, Kementerian mencoret nama perusahaannya dari daftar calon penerima kuota tahun berikutnya. Nyatanya, sanksi itu bisa diakali importir dengan cara mengganti nama perusahaan. Korupsi dan pengawasan yang payah membuat siasat itu seolah-olah tak bisa dideteksi.
Walhasil, swasembada bawang putih gagal, bancakan pemburu rente tetap berjalan. Dalam rapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat pada 20 Januari 2020, para importir bawang putih berterus terang tak sanggup membudidayakan komoditas ini. Selain tak punya pengalaman bertani, bawang putih tak cocok ditanam di suhu tropis Indonesia.
Dari kejadian ini seharusnya pemerintah sadar swasembada komoditas yang tak cocok dengan iklim Indonesia hanya mendatangkan mudarat. Membagi impor dengan sistem kuota tak kalah mudarat karena menciptakan state capture corruption, korupsi yang diberi jalan oleh kebijakan melalui aturan.
Pemerintah Indonesia tak perlu mengejar ilusi swasembada untuk komoditas-komoditas yang tak bisa ditanam di Indonesia. Impor bukan aib. Sepanjang dibuka sesuai dengan kebutuhan, berdasarkan mekanisme pasar yang sehat, impor tak perlu membuat alergi. Pengusaha akan berhitung sendiri jumlah bawang yang mereka datangkan, disesuaikan dengan permintaan dan kemampuan pasar. Pemerintah hanya perlu mengawasi produknya agar tak membahayakan ketika dikonsumsi.
Sumber daya pemerintah sebaiknya dipakai untuk berfokus menggarap sektor unggulan pertanian kita. Banyak komoditas pangan yang bisa dibudidayakan untuk ekspor ke pasar internasional. Sementara itu, kebutuhan pangan dalam negeri bisa dipenuhi dengan kombinasi impor dan hasil produksi sendiri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo