Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INDUSTRI penyiaran Indonesia jauh tertinggal di kawasan Asia Tenggara. Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah perlu mempercepat revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, terutama untuk mengatur migrasi dari siaran televisi analog menuju digital. Pembahasan aturan baru ini mandek bertahun-tahun, tersandera kepentingan pemain lama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Demokratisasi penyiaran harus segera dilakukan demi mengakhiri penguasaan frekuensi oleh segelintir pengusaha, yang terjadi sejak Orde Baru. Dengan segala cara, pemain lama industri televisi selama ini berusaha mempertahankan status quo dan menolak kewajiban siaran lokal. Adapun masyarakat sipil menginginkan industri penyiaran bermanfaat besar buat publik. Terbentuknya Komisi Penyiaran Indonesia sebagai regulator utama sempat memberikan harapan baru. Namun kemenangan kelompok sipil ini hanya sementara karena Mahkamah Agung akhirnya menerima sebagian uji materi yang dituntut kelompok industri untuk mengurangi sebagian kewenangan Komisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini pemerintah harus menata ulang penyiaran seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi digital. Konferensi Radio Regional 2006 di Jenewa, Swiss, sebetulnya telah menyepakati rencana migrasi siaran analog ke digital paling lambat 17 Juni 2015. Negara-negara Asia meminta kelonggaran sampai tahun ini. Negara kita tak boleh menunda lagi proses demokratisasi penyiaran ini.
Perubahan itu sebetulnya akan menguntungkan publik. Lewat teknologi digital, frekuensi bisa dibagi ke lebih banyak pelaku industri pertelevisian. Bayangkan, frekuensi televisi analog, 700 MHz, sekarang hanya dikuasai 14 stasiun televisi nasional. Mereka menangguk pendapatan iklan yang amat besar. Total pendapatan iklan televisi nasional pada 2018, misalnya, mencapai Rp 110,46 triliun.
Pemerintah sempat memulai migrasi ke televisi digital pada 2012. Namun kebijakan itu digugat karena hanya memberikan izin kepada sepuluh stasiun televisi nasional dan satu stasiun televisi publik. Televisi lokal tidak memperoleh jatah. Mahkamah Agung memenuhi gugatan itu dan memutuskan migrasi analog ke digital harus diatur dalam undang-undang.
Mau tak mau, penataan ulang perlu dilakukan karena teknologi digital membuka peluang baru. Sebuah kanal yang tadinya hanya bisa digunakan untuk satu saluran televisi bisa dimanfaatkan hingga 14 saluran. Pembahasan revisi Undang-Undang Penyiaran perlu dipercepat dengan mengakhiri perdebatan yang bermuara pada dua kutub: single multiplex dan multi multiplex. Multiplex alias mux adalah infrastruktur pengelola kanal.
Opsi single mux memungkinkan negara menguasai sepenuhnya frekuensi publik dengan menjadikan TVRI sebagai pengelola tunggal penyiaran. Para pelaku industri pertelevisian tinggal menyediakan konten. Adapun sistem multi mux masih memberikan peluang bagi pemain swasta untuk menguasai sebagian frekuensi publik. Kelompok televisi nasional, yang selama ini menguasai kanal analog, tentu saja, mendukung pengelolaan multipihak ini. Mereka ingin mempertahankan kue ekonomi.
Pemerintah semestinya tetap mempertahankan opsi single mux dalam pembahasan undang-undang. Sudah saatnya oligopoli industri televisi diakhiri. Pengelolaan tunggal akan mengembalikan frekuensi yang selama ini dikuasai segelintir pengusaha ke negara. Dengan pengelolaan kanal digital secara transparan, frekuensi ini bisa digunakan untuk penyebaran informasi yang lebih beragam. Publik pun akan lebih diuntungkan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo