Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Reza Indragiri Amriel
Alumnus Psikologi Forensik University of Melbourne
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mari kita cek situs Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Pengecekan ini diperlukan agar masyarakat tahu sikap resmi sekaligus arah kerja Komisi mengenai anak-anak yang disebut-sebut memiliki keterkaitan dengan peristiwa 21-22 Mei 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi jelas harus memutakhirkan datanya. Jumlah anak tewas, yaitu tiga orang, tidak sinkron dengan data yang dimiliki Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Seiring dengan itu, yang dinantikan adalah kesanggupan Komisi mengangkat masalah tewasnya anak-anak yang dimaksud ke level yang lebih tinggi sehingga bisa "memaksa" pemimpin tertinggi nasional menaruh atensi khusus terhadapnya, seperti ketika Komisi mengangkat isu kejahatan seksual terhadap anak pada tahun lalu.
Asrorun Ni’am Sholeh, Ketua KPAI masa itu, berdampingan dengan Presiden Jokowi meluncurkan pernyataan dari Istana bahwa Indonesia berada dalam situasi darurat kejahatan seksual terhadap anak dan kejahatan tersebut merupakan kejahatan luar biasa. Hal tersebut berlanjut dengan keluarnya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti-Kejahatan Seksual terhadap Anak. Puncaknya adalah disahkannya revisi kedua atas Undang-Undang Perlindungan Anak.
Gebrakan semacam itu pula yang sesungguhnya juga dinantikan dalam isu terbunuhnya empat bocah dan lima puluh lebih anak-anak lain yang diamankan polisi pada 21-22 Mei lalu. Masalah anak-anak tersebut, khususnya empat yang tewas, terlihat redup dibandingkan dengan perkembangan isu tewasnya delapan orang dewasa pada periode waktu yang sama.
Perhatian berskala lebih besar terhadap meninggalnya anak-anak itu dan proses hukum atas puluhan anak lain sebenarnya sangat dibutuhkan. Salah satu kepentingan yang harus direalisasi, di samping pertanyaan KPAI tentang sebab-musabab tewasnya mereka, adalah menemukan aktor yang menghabisi mereka serta memastikan adanya sanksi yang akan dikenakan terhadap para pelaku nantinya. Puncak dari proses pengusutan nanti adalah tersedianya ganti rugi (restitusi dan, lebih-lebih lagi, kompensasi) bagi keluarga anak-anak tersebut yang patut diikhtiarkan secara maksimal.
Situasi kerusuhan Mei 2019 berlangsung sangat dramatis. Narasi-narasi tentang orkestrasi di balik kerusuhan itu, sebagaimana dideskripsikan oleh otoritas hukum, juga menambah bobot keseriusan kejadian tersebut. Sangat disesalkan bahwa dalam malapetaka sedahsyat itu negara gagal memberikan perlindungan, terutama bagi empat warga negaranya yang masih berusia kanak-kanak. Di situlah letak penalaran mengapa kompensasi harus ditunaikan.
Isu ini semakin mendesak jika semua pihak mafhum akan pranata global Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya tujuan nomor 16 mengenai penghentian segala bentuk kekerasan terhadap anak serta penghentian tindakan penganiayaan, penelantaran, dan eksploitasi anak. Target ini bahkan diarusutamakan melampaui target-target lainnya, juga berhubungan dengan penghentian kekerasan.
Dengan penalaran seperti di atas, pemberian kompensasi bagi keluarga keempat korban kanak-kanak semestinya dapat didahulukan. KPAI perlu melakukan lompatan besar dengan juga mencantumkan masalah kompensasi ini sebagai sikap resminya. Sikap itu menjadi tombol pemantik bagi kementerian dan lembaga terkait untuk selekas mungkin merealisasi kompensasi tersebut.
Ditarik ke tataran lebih luas, perlu dipastikan bahwa setiap tahap penanganan anak dari hulu hingga hilir benar-benar nirkekerasan. Pada konteks 21-22 Mei inilah saya teringat akan dokumen yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2004. Dokumen Human Rights Standards and Practices for the Police itu memuat bagian khusus tentang perlakuan bagi anak. Berangkat dari salah satu butir di dalam dokumen tersebut, sangat baik bagi anak-anak apabila tersedia pengacara-pengacara serta personel polisi, pastinya yang berintegritas sekaligus ramah anak yang melakukan pendampingan intensif.
Ramah anak bermakna bahwa pengacara itu berkesungguhan hati menegakkan hukum dengan bermodalkan kekuatan pemahaman akan hukum terkait, serta mempunyai kepekaan untuk mencegah trauma berulang pada anak, tak terkecuali guncangan yang diakibatkan oleh proses hukum itu sendiri. Kerja pengacara ramah anak semacam itu sangat berkelindan dengan kerja lembaga pemberi layanan rehabilitasi bagi anak. Tidak hanya membantu anak selaku terduga pelaku, tapi juga anak yang berstatus sebagai korban.
Anak, dengan segala keringkihannya, sangat mungkin terjerembap dalam posisi tumpang-tindihnya korban dan pelaku. Dalam posisi demikian, tentu penanganan anak selaku korban harus didahulukan. Penanganan itu mencakup dimensi hukum, fisik, psikis, dan sosial anak.