Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESKI memakan waktu hingga 19 bulan, berakhirnya penyanderaan Phillip Mark Mehrtens menjadi pembelajaran penting bagi pemerintahan baru dalam menangani konflik di Papua. Pelepasan pilot maskapai penerbangan Susi Air itu dari tangan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) berlangsung lewat jalur negosiasi dan dialog yang melibatkan tokoh masyarakat hingga keluarga, bukan pengerahan pasukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mulanya, setelah Mehrtens disandera pada 7 Februari 2023, pemerintah mengerahkan personel Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI untuk mengepung sejumlah wilayah di Nduga. Mereka berupaya mengepung pasukan Panglima Komando Daerah Pertahanan III Ndugama-Derakma, Egianus Kogeya, yang menculik sang pilot. Kontak senjata malah memakan korban jiwa, termasuk warga sipil. Ratusan warga Nduga mengungsi untuk menjauhi pertempuran antara pasukan TNI-Polri dan TPNPB-OPM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alih-alih mengendurkan serangan, Panglima TNI kala itu, Laksamana Yudo Margono, malah mengumumkan status siaga tempur di Papua. Langkah ini justru membuat baku tembak makin sering terjadi. Pasukan Egianus tak kunjung bisa ditaklukkan karena mereka menguasai rimba Papua. Posisi Mehrtens pun malah makin sulit terlacak karena ia ikut diboyong kelompok Egianus ke tengah hutan.
Satuan Tugas Damai Cartenz dari Kepolisian Daerah Papua merintis dialog dengan pihak TPNPB dan Egianus sejak awal 2024. Sejumlah tokoh sipil dilibatkan. Termasuk mantan penjabat Bupati Nduga, Edison Gwijangge, yang aktif mendekati Egianus. Ada juga Raga Kogeya, kerabat Egianus yang masuk lewat jalur keluarga. Pola pendekatan ini yang akhirnya membebaskan Mehrtens, bukan lewat operasi keamanan atau militer.
Memang, Egianus dan kelompoknya dikabarkan sudah tersudut pengepungan pasukan TNI dan Polri. Ia juga tak punya pilihan lain karena, jika Mehrtens menjadi korban, gerakan TPNPB akan tercoreng di mata internasional. Ibarat pepatah “yang kalah jadi abu, menang jadi arang”, pendekatan militeristik dan mobilisasi pasukan justru memperburuk situasi. Itu sebabnya keberhasilan membebaskan Mehrtens menjadi bukti bahwa jalan dialog merupakan cara terbaik menyudahi konflik Papua.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang akan dilantik menjadi presiden pada 20 Oktober mendatang perlu mencatat sejarah ini. Sebab, pada Desember 2023, dalam kampanye pemilihan presiden lalu, Prabowo menganggap metode pendekatan hanya salah satu bagian untuk menghadapi konflik Papua. Mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu memilih mengutamakan penegakan hukum dan penguatan aparat keamanan untuk mempercepat pembangunan ekonomi di Papua.
Padahal refleksi Badan Riset dan Inovasi Nasional pada akhir tahun lalu menyimpulkan masalah utama di Papua adalah munculnya stigmatisasi dan diskriminasi, pelanggaran hak asasi manusia, serta kegagalan metode pembangunan. Pendekatan keamanan sudah berkali-kali terbukti gagal mengatasi konflik di Bumi Cenderawasih.
Cara kekerasan tak akan pernah menang di Papua. Orde Baru sudah membuat 41 operasi di sana, tapi tak pernah berhasil. Pengerahan militer malah membuat warga Papua antipati dan menimbulkan dendam. Di masa Presiden Joko Widodo, mereka justru dicap “kelompok kriminal bersenjata”, yang artinya kelompok bersalah. Dengan dibukanya dialog, warga Papua akan berdiri sama tinggi dengan warga negara di tempat lain.