Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Para guru besar yang hadir dari berbagai universitas di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi baru saja menyelenggarakan Temu Ilmiah - Universitas Memanggil. Aksi yang berlangsung pada Kamis, 14 Maret 2024 di Gedung IMERI Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat itu diwarnai dengan acara puncak pembacaan Seruan Salemba 2024 dari ilmuwan maupun akademisi berbagai kampus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seruan tersebut menuntut agar pemerintah dapat menegakkan konstitusi, memulihkan hak kewargaan dan peradaban berbangsa. Seruan Salemba didahului oleh Kampus Menggugat oleh Universitas Gadjah Mada atau UGM yang menyoroti penegakan etika dan demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami memegang teguh kebebasan akademik dan otonomi keilmuan saat menjalankan fungsi utama ilmu pengetahuan, serta tidak berbicara atau berjuang di atas kepentingan kekuasaan dan uang. Kami bersuara sebagai gerakan moral dan intelektual," kata Guru Besar yang mewakili pembacaan Seruan Salemba 2024 di Temu Ilmiah Universitas Memanggil.
Berikut pendapat akademik berdasarkan penilaian para ilmuwan, dosen, dan guru besar atas situasi nasional dan implikasi luasnya bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pertama, Konstitusi mewajibkan Presiden, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan untuk berdiri di atas semua golongan tanpa terkecuali. Namun amanat Konstitusi tersebut tidak dilaksanakan semata demi kepentingan kekuasaan.
Kedua, Konstitusi mewajibkan Presiden untuk mematuhi hukum dan kemandirian peradilan. Dalam praktiknya, terjadi penyalahgunaan kekuasaan dengan rekayasa hukum (politisasi yudisial), yang makin meruntuhkan demokrasi. Diubahnya pelbagai aturan dan kebijakan melemahkan pemberantasan korupsi dan merugikan hak rakyat, dari bidang kesehatan, ketenagakerjaan, hingga mineral dan pertambangan yang berakibat tersingkirnya masyarakat adat, hutan, dan kepunahan keanekaragaman hayati sebagai sumber pengetahuan, pangan dan obat-obatan.
Ketiga, instrumentalisasi bantuan sosial (pork barrel politics) dengan alasan menopang rakyat miskin nampak seperti pembiaran terhadap kemiskinan. Padahal seharusnya penghapusan kemiskinan dilakukan dengan upaya memperluas lapangan kerja di segala bidang, meningkatkan kapasitas penduduk usia muda agar punya akses pendidikan setinggi-tingginya, memiliki inovasi untuk menghasilkan produk sains, teknologi, kesenian dan beragam produk budaya.
Keempat, selama sepuluh tahun, pemerintah telah melahirkan berbagai kebijakan yang mereduksi substansi pendidikan menjadi urusan administratif belaka. Para pengajar dibebani berbagai borang penilaian, sementara substansi dan profesionalisme pendidik terabaikan. Setiap tahun prestasi pelajar kita dalam sains, matematika dan bahasa semakin merosot (ranking PISA). Di perguruan tinggi, jarang ada capaian mencolok dalam bidang sains, teknologi, Kesehatan, dan sosial-humaniora karena pembatasan ruang gerak ilmuwan dan dana, sehingga tidak dapat menjawab kebutuhan kemanusiaan dan peradaban
Kelima, terjadi kekerasan simbolik (budaya) melalui bahasa, simbol, representasi kekuasaan, bahkan penyalahgunaan ilmu pengetahuan, dengan tujuan menyerang kesadaran, nilai dan norma terkait kebaikan, kejujuran, kebenaran, dan keadilan, demi membenarkan tindakan mempertahankan kekuasaan. Kekerasan simbolik adalah awal bagi pembenaran kekerasan psikologis, termasuk intimidasi, seperti yang menimpa para Guru Besar di berbagai universitas khususnya di Jawa Tengah usai menyatakan sikapnya. Selanjutnya kekerasan budaya juga akan menjadi pembenaran bagi kekerasan fisik.
7 Seruan Salemba 2024
Atas penilaian situasi nasional di atas, bersama ini, para akademisi dan berbagai lapisan masyarakat dalam Temu Ilmiah Universitas Memanggil menyerukan:
1. Mendesak penyelenggara negara untuk menyiapkan suksesi kekuasaan dengan cara bermartabat dan beretika demi kepentingan yang luas, yaitu bangsa dan negara.
2. Mendesak dilakukannya reformasi hukum, khususnya atas produk perundangundangan terkait politik dan pemilu, dan berbagai peraturan perundangan lain yang berimplikasi pada hayat hidup orang banyak, dengan proses transparan dan akuntabel; serta tidak lagi merumuskan hukum yang substansinya mengabaikan kedaulatan rakyat, dan hanya mengutamakan kepentingan segelintir orang saja (oligarki).
3. Mendukung parlemen (DPR RI) untuk segera bekerja menjalankan fungsi-fungsi menyuarakan suara rakyat, melakukan penyelidikan secara terbuka terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan eksekutif agar dapat dipertanggungjawabkan.
4. Mendesak penghentian intimidasi terhadap warga negara, termasuk akademisi ketika menggunakan hak berekspresi dan mengingatkan pemerintah untuk mematuhi Konstitusi dan negara hukum.
5. Mengajak warga masyarakat luas agar menjadi warga negara yang paham serta sadar akan hak haknya dan berani mempertanyakan kebijakan publik khususnya yang berdampak pada ketidakadilan.
6. Mengajak para ilmuwan dari Sabang sampai Merauke untuk tetap bekerja keras menghasilkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, dengan mengutamakan nilai etika, moral, serta budaya luhur yang diamanatkan oleh para pendiri bangsa.
7. Menyerukan kepada seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebagai musuh bersama.