Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mahfud Md. bertemu dengan sejumlah pejabat untuk membahas kasus korupsi satelit orbit 123 derajat Bujur Timur.
Presiden Joko Widodo pernah meminta slot orbit 123 derajat BT diselamatkan.
Putusan arbitrase dianggap tak sesuai dengan aturan di Indonesia.
BERJUMPA dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada Rabu siang, 12 Januari lalu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. melaporkan perkembangan kasus pengadaan satelit orbit 123 derajat Bujur Timur. Mahfud juga menjelaskan hasil audit tujuan tertentu yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Presiden meminta agar segera dibawa ke ranah peradilan pidana,” ujar Mahfud Md. dalam akun Instagram-nya, Ahad, 16 Januari lalu. Orbit 123 derajat merupakan satu dari tujuh wilayah angkasa yang diberikan kepada Indonesia oleh Persatuan Telekomunikasi Internasional (ITU), lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak awal tahun ini, Mahfud kerap menggelar pertemuan dengan sejumlah menteri dan pemimpin lembaga untuk mengurai dugaan korupsi dalam proyek di Kementerian Pertahanan tersebut. Pada Rabu, 5 Januari lalu, ia memanggil Menteri Pertahanan Prabowo Subianto serta Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate ke kantornya.
Penggeledahan tiga lokasi terkait dugaan korupsi proyek Satelit Kemenhan oleh tim Kejaksaan Agung, di Jakarta. Dok. Kejaksaan Agung
Lima hari kemudian, Mahfud mengundang Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Sehari sesudahnya, atau pada 11 Januari lalu, Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Andika Perkasa juga diajak berbicara oleh Mahfud di kantornya.
Semua pertemuan itu membahas hasil audit BPKP yang keluar pada akhir 2021. BPKP menemukan adanya pelanggaran dalam penyewaan ataupun pengadaan satelit dengan kerugian negara hampir Rp 800 miliar. Kerugian itu antara lain berasal dari kalahnya Indonesia dari gugatan arbitrase di London pada 9 Juli 2019.
Ketika itu, Indonesia digugat oleh Avanti Communications Limited karena tak membayar biaya sewa satelit Artemis. Satelit milik perusahaan Inggris itu direncanakan menjadi pengganti di orbit 123 derajat, sembari menunggu satelit baru yang dibuat oleh Airbus meluncur ke udara. Indonesia sudah membayar Rp 515 miliar sesuai dengan putusan sidang arbitrase itu.
Potensi kerugian lain adalah kekalahan Kementerian Pertahanan dari Navayo International AG dalam persidangan arbitrase di Singapura pada Mei 2021. Navayo, pemenang tender pembuatan terminal darat satelit, meminta pembayaran serta biaya arbitrase total US$ 20,9 juta atau sekitar Rp 299 miliar.
Indonesia keok karena salah satu bukti yang diajukan Navayo adalah surat penerimaan alat satelit yang diteken oleh pejabat Kementerian Pertahanan. Meski tak terekam dalam catatan Bea dan Cukai, alat itu sudah berada di salah satu gudang Kementerian Pertahanan.
Mahfud menyatakan para menteri dan pemimpin lembaga negara yang ditemuinya memberikan dukungan agar kasus tersebut diusut. “Bahkan Menhan dan Panglima TNI tegas mengatakan tidak boleh ada pengistimewaan dari institusi apa pun. Semua harus tunduk pada hukum,” ucap Mahfud.
Sehari setelah bertemu dengan Jokowi, Mahfud menggelar konferensi pers bersama Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Mahfud menyoroti kontrak yang dibuat Kementerian Pertahanan ihwal pengadaan satelit melalui prosedur yang salah. “Kontrak itu dibuat ketika pemerintah belum mengalokasikan anggaran,” katanya.
Kejaksaan Agung telah memeriksa 16 saksi, di antaranya pimpinan PT Dini Nusa Kusuma, yang memegang hak pengelolaan filling satelit untuk slot orbit 123 derajat. Namun Kejaksaan belum memeriksa anggota TNI yang diduga terlibat dalam korupsi pengadaan satelit ini. “Saat ini yang kami selidiki adalah sipil dan swasta,” ujar Burhanuddin, Rabu, 19 Januari lalu.
•••
PENGADAAN satelit orbit 123 derajat Bujur Timur bermula pada 19 Januari 2015. Ketika itu, satelit Garuda-1 yang berada di orbit 123 derajat BT keluar dari lintasan akibat kebocoran bahan bakar.
Slot orbit 123 derajat BT selama ini dikelola oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Setelah Garuda-1 lepas, Kementerian Pertahanan meminta hak pengelolaan dengan alasan akan membangun satelit komunikasi pertahanan. Slot tersebut untuk satelit L-Band yang bisa dipakai dalam kondisi cuaca apa pun.
Meski belum mendapat izin dari Kementerian Komunikasi dan persetujuan anggaran dari Kementerian Keuangan, Kementerian Pertahanan yang dipimpin oleh Ryamizard Ryacudu menyewa satelit Artemis milik Avanti Communications Limited pada 6 Desember 2015. Nilainya US$ 26,56 juta atau sekitar Rp 380,4 miliar. Artemis mengisi slot itu pada 12 November 2016.
Kontrak inilah yang disebut oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. bermasalah karena Kementerian Komunikasi baru memberikan persetujuan pemberian slot orbit kepada Kementerian Pertahanan pada 29 Januari 2016. “Belum ada kewenangan dari negara dalam APBN harus melakukan pengadaan satelit,” katanya, Kamis, 13 Januari lalu.
Kementerian Pertahanan juga mengajukan anggaran sebesar US$ 669 juta atau sekitar Rp 9,5 triliun untuk persiapan membangun satelit baru. Pembuatan itu dilakukan karena Indonesia diberi tenggat oleh Persatuan Telekomunikasi Internasional (ITU) untuk mengisi slot paling lambat November 2024.
Masalah ini dibahas dalam rapat terbatas di Istana Presiden pada 3 dan 4 Desember 2015. Dalam dokumen yang diperoleh Tempo, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan saat itu, Luhut Pandjaitan, mengatakan slot orbit 123 derajat penting untuk Badan Intelijen Negara dan Kementerian Pertahanan.
“Satelit orbit ini digunakan pula oleh negara-negara lain untuk penyadapan,” ujar Luhut seperti dikutip dari dokumen. Luhut meminta agar slot itu segera diisi.
Rapat juga menyoroti harga satelit yang melonjak. Seperti tertulis dalam dokumen, beberapa tahun sebelumnya dalam rapat harga pembelian satelit diajukan sebesar US$ 250 juta dengan perkiraan kenaikan harga 10-15 persen. Tapi, dalam rapat itu, harga melambung menjadi US$ 800 juta.
Menanggapi diskusi dalam rapat itu, Presiden Joko Widodo memerintahkan anak buahnya menyelamatkan slot orbit 123 derajat BT. “Pastikan agar tim tidak kehilangan kesempatan untuk memastikan dunia bahwa Indonesia mampu mengelola slot orbit 123 derajat BT,” ucapnya seperti tertulis dalam dokumen. Juru bicara Luhut, Jodi Mahardi, mengaku tak mengetahui soal rapat tersebut.
Dokumen lain menyebutkan, ada lebih dari 250 pertemuan serta surat-menyurat antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang membahas persoalan itu pada 2015-2018. Dalam rapat pada 30 Mei 2016, Luhut yang memimpin rapat menyebutkan harga sewa satelit lebih murah dibanding melakukan pengadaan.
Luhut juga meminta rapat melibatkan tim dari Kementerian Komunikasi dan PT HRA Corporation Indonesia. Pada 28 Juni 2016, Luhut yang memimpin rapat tingkat menteri memberikan arahan agar peluang kerja sama dengan pihak swasta ihwal pengadaan satelit dibuka. Luhut juga meminta Pertamina dan Kementerian Pertahanan bisa bertemu dan membahas pembelian satelit.
Jodi Mahardi menampik kabar bahwa Luhut meminta PT HRA dilibatkan. “Enggak,” ujarnya, Jumat, 21 Januari lalu. Namun ia mengakui ada sejumlah pertemuan ketika Kementerian Pertahanan telah menyewa satelit Avanti. Saat itu ada dua opsi, yaitu membangun satelit sendiri atau menyewa. “Namun, sampai akhir masa jabatan Pak Luhut, belum ada kesimpulan yang diambil,” tutur Jodi.
Luhut terakhir kali menjabat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan pada 27 Juli 2016. Penggantinya adalah Wiranto. Ketika itu, PT Dini Nusa Kusuma ditunjuk menjadi pemegang lisensi slot orbit 123 derajat. Tapi perusahaan itu tak kunjung merealisasi pengadaan satelit.
•••
PEMERINTAH sebetulnya punya keinginan lain dengan membongkar kasus dugaan korupsi pengadaan satelit orbit 123 derajat Bujur Timur. Dua pejabat pemerintah bercerita, dengan diungkapnya kasus ini, pemerintah berharap bisa terhindar dari denda yang harus dibayar berdasarkan hasil putusan arbitrase.
Dokumen Kementerian Keuangan tanggal 19 Desember 2021 terkait permintaan dispensasi DIPA. Istimewa
Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, pun mendengar hal ini ketika diundang oleh Mahfud Md. pada Rabu sore, 19 Januari lalu. “Saat itu Prof Mahfud menyebut uang pembayaran sudah ada, tapi urung dibayarkan karena ada temuan dari BPKP,” ujarnya menceritakan ulang pertemuan tersebut, Jumat, 21 Januari lalu.
Menurut Hikmahanto, Mahfud juga menceritakan kronologi pengusutan kasus itu sejak Mei 2021. Pada 15 September 2021, Navayo menagih pembayaran dari pemerintah. Mahfud sempat memutuskan akan membayar tagihan itu. Tapi Kementerian Keuangan tak mau langsung membayar karena menunggu hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
BPKP lalu memulai audit setelah diperintah Mahfud. “Kami mulai mengaudit sejak pertengahan September 2021 atas perintah Kemenkopolhukam,” kata juru bicara BPKP, Eri Satriana. BPKP lalu menemukan ketidaksesuaian dalam akuntabilitas pengelolaan kegiatan dan hasilnya telah diserahkan kepada Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Mahfud juga meminta kementerian lain menjaga slot orbit. Dalam surat tanggal 27 Desember 2021, ia meminta Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate meninjau kembali atau mencabut izin hak penggunaan orbit 123 derajat oleh PT Dini Nusa Kusuma. “Selanjutnya, segera mencari calon pengelola baru dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku,” tulisnya.
Pemerintah juga mempersiapkan pembayaran dari penyisiran daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) Kementerian Pertahanan dan TNI. Dalam dokumen Kementerian Keuangan tanggal 19 Desember 2021 yang diperoleh Tempo, tertulis ada permintaan dispensasi DIPA hingga 24 Desember 2021 oleh Kementerian Pertahanan dan TNI untuk pembayaran putusan arbitrase.
Poin lain ialah arahan Presiden Joko Widodo untuk membayar Navayo dilakukan secepatnya guna mencegah kerugian negara yang lebih besar. Menteri Keuangan Sri Mulyani tak merespons pertanyaan dari Tempo.
Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, mengatakan jajarannya sedang mempersiapkan pertemuan konferensi tingkat tinggi G20 dan mensosialisasi Undang-Undang Pajak. “Dirjen Anggaran sedang urus ibu kota negara,” ujar Prastowo.
Hikmahanto Juwana menyarankan pemerintah agar tak membayar Navayo karena mereka bukan perusahaan penyedia satelit komunikasi. Selain itu, ada dugaan korupsi dalam pengadaan satelit yang membuat putusan arbitrase di Singapura melanggar ketertiban umum di Indonesia. Acuannya, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
“Dengan demikian tak memenuhi persyaratan untuk diakui dan dilaksanakan di Indonesia,” ucap Hikmahanto. Ia juga menilai permohonan eksekusi yang dilayangkan oleh Navayo untuk menyita aset Kementerian Pertahanan tak bisa dilaksanakan. Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan aset negara dilarang untuk disita.
Analis pertahanan Connie Rahakundini Bakrie mengatakan pemerintah harus tetap mengisi slot orbit 123 derajat. Penyebabnya, slot tersebut terkait dengan kedaulatan angkasa Indonesia serta pertahanan dan keamanan nasional. “Apalagi sedang ada kerja sama Kaukus Australia, Inggris, dan Amerika Serikat, juga persoalan Laut Natuna Utara,” katanya.
Connie, yang ikut mengkaji rencana pengisian slot tersebut pada 2015, menyatakan ketiadaan satelit orbit 123 derajat bakal menyulitkan sistem pertahanan. Sebab, radar dan komunikasi memakai jaringan satelit L-Band yang berada di slot tersebut.
BUDIARTI UTAMI PUTRI, EGY ADYATAMA, MAYA AYU PUSPITASARI
Koreksi 23 Januari 2022 pukul 20.37 WIB pada simbol derajat Bujur Timur.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo