Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Polisi berulang kali menembakkan gas air mata untuk membubarkan warga Rempang.
Siswa di dua sekolah di Rempang terpaksa diungsikan akibat gas air mata mengarah ke area sekolah.
Puluhan warga Rempang menderita luka-luka akibat tindakan represif petugas gabungan.
JAKARTA – Pasukan gabungan TNI, kepolisian, dan Satuan Polisi Pamong Praja terus merangsek masuk ke perkampungan warga di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, hingga Kamis malam kemarin. Mereka berulang kali menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa yang menghalau laju pasukan gabungan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sampai pukul 19.30, hampir seribuan anggota pasukan gabungan ini sudah mengarah ke simpang Kampung Sembulang. Di sini, pasukan gabungan ini berhenti sejenak untuk makan malam di restoran kawasan simpang Kampung Sembulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ratusan warga Pulau Rempang sendiri terus berusaha menghalau laju pasukan gabungan tersebut. Warga menebang pohon, lalu membentangkannya di jalan. Mereka juga mengangkat bak kontainer ke tengah jalan.
Baca juga:
Kedatangan pasukan gabungan ini sedianya mengawal pemasangan patok tata batas dan pengukuran area lokasi kawasan Rempang Eco-City—perpaduan antara kawasan industri, perdagangan, dan wisata. Pembangunan kawasan industri di pulau seluas 17 ribu hektare itu bakal digarap PT Makmur Elok Graha (MEG). Proyek ini masuk program strategis nasional, yang ditargetkan akan menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada 2080.
Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (BP) Batam ditunjuk untuk mengawal realisasi investasi tersebut. Untuk memuluskan proyek ini, BP Batam akan merelokasi seluruh penduduk Rempang yang jumlahnya mencapai 10 ribu jiwa. Mereka mendiami 16 kampung adat di Pulau Rempang sejak 1834. Mereka terdiri atas suku Melayu, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat.
Pasukan gabungan itu awalnya berbaris di Jembatan 4 Barelang. Ratusan warga juga bersiaga di ujung jembatan. Perlahan-lahan pasukan gabungan merangsek ke arah perkampungan. Mereka berkali-kali menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa.
Tembakan gas air mata ini juga mengarah ke dua sekolah yang tak jauh dari Jembatan 4 Barelang. Kedua sekolah itu adalah SD 24 Galang dan SMP 33 Galang. Proses belajar-mengajar di kedua sekolah itu terpaksa dihentikan karena gas air mata masuk ke area sekolah. Para guru terpaksa mengungsikan murid SD 24 Galang ke luar area sekolah.
Sejumlah warga melakukan aksi pemblokiran jalan di jembatan empat Rempang, Galang, Batam, Kepulauan Riau, 21 Agustus 2023. ANTARA/Teguh Prihatna
Lewat keterangan tertulis, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Muhammad Isnur, mengatakan upaya pasukan gabungan yang bertujuan memasang patok tata batas dan cipta kondisi di Pulau Rempang menjadi pemicu bentrokan itu. Warga Pulau Rempang tidak menerima rencana ini sehingga mereka berusaha menghalau laju pasukan gabungan tersebut. Tapi pasukan gabungan terus memaksa masuk ke perkampungan menggunakan mobil taktis.
“Sejak awal, tujuan kegiatan tersebut adalah menggusur warga dari tanah adatnya. Maka seharusnya aparat dan BP Batam tahu kegiatan ini pasti mendapat penolakan,” kata Isnur, Kamis kemarin.
Isnur mendapat informasi puluhan warga menderita luka-luka akibat bentrokan ini. Polisi juga menangkap enam warga. “Beberapa anak mengalami trauma dan satu anak mengalami luka akibat gas air mata,” kata dia.
Informasi terbaru yang didapat Isnur hingga Kamis malam, sebanyak 20 siswa SD 24 dan SMP 33 Galang terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah Embung Fatimah akibat tembakan gas air mata. Saat ini mereka masih dirawat di rumah sakit tersebut.
Gerisman Ahmad, 64 tahun, mengatakan warga Pulau Rempang akan tetap menolak relokasi tersebut. Warga tidak ingin kehilangan lahan di tempat kelahiran dan warisan sejarah di Pulau Rempang. “Kami sudah lama tinggal di sini, bahkan sebelum Indonesia berdiri,” kata Gerisman.
Ia berharap pemerintah memperhatikan nasib seluruh warga Pulau Rempang. Sebab, mayoritas warga menggantungkan hidupnya dari laut. Jadi, ketika direlokasi, mereka otomatis kehilangan mata pencarian. “Di tempat baru, tak ada laut. Bagaimana kami bisa hidup?” ucap Gerisman.
Menurut dia, mayoritas warga di Pulau Rempang memang hanya memiliki sertifikat hak guna bangunan di lahan yang ditempati. Hal ini terjadi karena efek Batam-Rempang-Galang yang ditetapkan menjadi kawasan pelabuhan bebas pada 1970-an. Penetapan itu membuat seluruh lahan dikelola oleh Badan BP Batam.
Kepala Kepolisian Daerah Kepulauan Riau, Inspektur Jenderal Tabana Bangun, berdalih bahwa anak buahnya di lapangan sudah bertindak sangat humanis. Ia mengatakan kepolisian sudah melakukan sosialisasi kepada warga Rempang sebelum pemasangan patok tata batas.
"Sehingga malam ini masyarakat sudah memahami (tujuan aparat gabungan)," kata Tabana. Ia juga meminta maaf kepada masyarakat yang terganggu oleh proses pemasangan patok tata batas tersebut.
Sejumlah ladang milik warga berada di dalam kawasan hutan Sembulang di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, 21 Agustus 2023. ANTARA/Teguh Prihatna
Program Strategis Nasional
Kawasan Eco-City di Pulau Rempang masuk program strategis nasional tahun ini. Penetapan program strategis nasional itu mengacu pada Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.
Sesuai dengan peraturan tersebut, pengembangan kawasan Eco-City itu berada di nomor 13 atau yang paling buncit dari total 13 program strategis nasional hingga tahun ini. Dalam peraturan itu disebutkan pengembangan Rempang Eco-City tetap sesuai dengan masterplan.
Pengembangan kawasan Rempang Eko-City ini berawal dari penandatanganan kerja sama antara Pemerintah Kota Batam, Otorita Batam, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, dan PT Makmur Elok Graha pada 2004. Kawasan Eko-City akan dibangun di area seluas 43.342 hektare yang berada di beberapa pulau, termasuk Pulau Rempang.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup, Zenzi Suhadi, mengatakan rencana pembangunan Rempang Eco-City ini tidak partisipatif dan mengabaikan aspirasi masyarakat adat di Pulau Rempang. “Sangat wajar jika masyarakat menolak rencana pembangunan ini,” kata Zenzi.
Ia pun meminta Presiden Joko Widodo membatalkan program pengembangan kawasan Eco-City tersebut. Mereka juga mendesak pemerintah melindungi dan mengakui keberadaan masyarakat adat di 16 kampung di Pulau Rempang.
Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait, mengklaim warga Pulau Rempang menyambut positif rencana relokasi dari kawasan Eco-City. Untuk tahap pertama, sebanyak 1.200 keluarga di Sembulang akan direlokasi ke wilayah yang berjarak 5 kilometer dari lokasi awal, yaitu di Desa Sijantung, Kepulauan Riau.
Ihwal kritik Walhi, BP Batam menegaskan Pulau Rempang nantinya menjadi kawasan ekonomi baru di Indonesia. Dalam pengembangannya, kawasan Rempang menaati asas keberpihakan masyarakat, aturan, serta kebijakan yang berlaku. "Kami berkomitmen merealisasi proyek ini karena akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat serta pembangunan ekonomi Indonesia," kata Ariastury.
Komisaris sekaligus juru bicara PT MEG, Fernaldi Anggadha, mengklaim telah menyerap aspirasi warga Pulau Rempang. PT MEG menyatakan akan menyediakan permukiman yang dilengkapi dengan pasar modern, sarana olahraga, dan sekolah bagi warga Rempang. “Kami tetap memperhatikan agar skala ekonomi warga Rempang tetap meningkat,” kata Fernaldi.
YOGI EKA SAHPUTRA (BATAM) | HENDRIK YAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo