Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Pecah Kongsi di Tubuh Komisi

Pemimpin Komisi Yudisial terbelah menjadi dua kubu sejak tiga tahun lalu. Beredar surat kaleng yang menyoroti sejumlah komisioner.

11 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUSYRO Muqoddas kerap mendapat pesan pendek bernada serupa dari bekas anak buahnya di Komisi Yudisial sejak tahun lalu. Isinya mengabarkan bahwa kondisi di dalam lembaga pengawas hakim tersebut terus memburuk. “Mereka resah karena terjadi polarisasi di pimpinan KY saat ini,” ujar Busyro, Ketua Komisi Yudisial periode 2005-2010, Rabu, 8 Mei lalu.

Ia pun mengecek keluh-kesah tersebut ke sejumlah bekas bawahannya yang lain. Rupanya, menurut Busyro, kegusar-an tersebut tidak hanya datang dari pegawai biasa, tapi juga dari pejabat eselon lembaga tersebut. Misalnya saat komisioner yang merangkap juru bicara, Farid Wajdi, dilaporkan 64 hakim agung ke Kepolisian Daerah Metro Jaya karena pernyataannya di Kompas pada 12 September tahun lalu dalam berita berjudul “Hakim di Daerah Keluhkan Iuran”. “Kasus berlanjut karena pimpinan KY tak kompak membela Farid,” ucap Busyro.

Ketika itu, Farid mengatakan ada pungutan Rp 150 juta ke setiap pengadilan untuk berpartisipasi dalam Kejuaraan Nasional Tenis Beregu Piala Ketua Mahkamah Agung Ke-17 di Denpasar. Ada juga pungutan ke suatu pengadilan jika pejabat Mahkamah Agung berkunjung. Angkanya, tergantung kelas pengadilan.

Anggota Komisi Yudisial, Sumartoyo, mengakui memang ada perkubuan di antara komisioner. “Tujuh komisioner terbe-lah sejak 2016,” ujar Sumartoyo, Rabu, 8 Mei lalu. Menurut dia, keakraban yang terjalin di antara kelima komisioner selama tiga bulan menjabat, sejak Desember 2015, sirna ketika masuk dua komisioner baru, Jaja Ahmad Jayus dan Aidul Fitriciada Azhari.

Setelah jumlah komisioner lengkap tujuh, Aidul terpilih sebagai ketua dan Sukma Violetta sebagai wakil ketua periode 2016-2018. Tapi, sesudah itu, kata Sumartoyo, komisioner terbelah dua. Jaja, Aidul, Sukma, dan Farid berada di kubu pertama. Sedangkan di kubu lain ada Sumartoyo, Maradaman Harahap, dan Joko Sasmito.

Sumartoyo mengatakan, selama tiga bulan pertama Aidul dan Sukma menjabat, kinerja lembaga amburadul. Ia menyebutkan tidak pernah ada rapat internal. Jangankan berdiskusi, sesama komisioner pun tak bertegur sapa. “Saya dan Ibu Sukma, yang dulu kerap berdiskusi, pun tak pernah ngomong lagi,” ujarnya.

Keduanya juga bersitegang dalam acara internal Komisi Yudisial di Yogyakarta pada 2017. Ketika itu, menurut Sumartoyo, rapat yang dipimpin Aidul sedang membahas soal minimnya laporan yang bisa ditindaklanjuti selama 2016. Pada tahun tersebut, Komisi menerima 1.682 laporan masyarakat mengenai dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Dari jumlah itu, Komisi hanya bisa mengusut 416 aduan. Sumartoyo meminta ada perubahan Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penanganan Laporan Masyarakat. Ia ingin komisioner bisa menangani laporan begitu didaftarkan, bukan sejak dibahas dalam rapat pleno. “Tapi Ibu Sukma tidak setuju dan forum memanas,” katanya.

Seorang pejabat Komisi yang hadir dalam pertemuan di Yogyakarta itu menuturkan, rapat menjadi tegang setelah Sukma mempertanyakan kajian akademis yang menjadi pertimbangan perubahan aturan yang diinginkan Sumartoyo. Sebab, keterlibatan sejak awal justru membuka peluang komisioner bermain dalam menentukan laporan yang bisa ditindaklanjuti. Selama ini, setiap laporan yang masuk harus diverifikasi bertahap sebelum sampai ke tangan komisioner. “Sumartoyo tidak bisa menunjukkan naskah akademisnya,” ujar sumber tersebut.

Sukma enggan mengomentari hubungan-nya dengan Sumartoyo dan isu perpecahan di lembaganya. Ditemui Tempo, ia menolak pernyataannya dikutip.

Kejadian di Yogyakarta hanya salah satu cekcok. Para komisioner juga ribut karena dalam sebuah rapat pleno Sumartoyo memaksa komisio-ner lain membuka kembali perkara dugaan pelanggaran etik hakim yang menangani kasus penggelapan dana Koperasi Cipaganti Karya Guna Persada senilai Rp 4,7 triliun. Kasus ini sudah ditutup komisioner periode sebelumnya karena tidak ditemukan pelanggaran. Rupanya, sebelum menjadi komisioner, Sumartoyo adalah kuasa hukum 79 korban dari total 23 ribu nasabah Cipaganti.

Peristiwa itu tertulis dalam surat kaleng atas nama Forum Kantin Komisi Yudisial yang ditujukan kepada Ketua Komisi. Dalam surat tersebut, kubu Sumartoyo juga disebut kerap bertemu dengan hakim Mahkamah Agung tanpa setahu komisioner lain.

Dalam pertemuan diam-diam itu, kubu Sumartoyo dicurigai membocorkan informasi kasus yang sedang ditangani Komisi. Salah satunya kasus perselingkuhan seorang hakim di Pengadilan Negeri Gianyar, Bali, pada Desember 2018. Dalam pengusutan perkara ini, Komisi berkejar-kejaran dengan Mahkamah. “Karena yang bersangkutan anak hakim agung,” ujar Sumartoyo.

Menurut Sumartoyo, Komisi Yudisial kalah cepat oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung lantaran komisioner tak kompak dalam mengambil keputusan. Badan Pengawasan akhirnya menghukum hakim itu dengan sanksi tidak boleh bersidang selama dua tahun dan dipindahkan ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh.

Sumartoyo menampik tudingan bahwa ia tidak menyiapkan kajian akademis saat meminta perubahan aturan soal penanganan perkara. Ia juga menyanggah memiliki kepentingan ketika meminta perkara Cipaganti dibuka kembali. Tuduhan bahwa ia beberapa kali membocorkan informasi ke Mahkamah Agung juga dibantah. “Saya tidak pernah bertemu secara pribadi dan langsung dengan Ketua MA,” ujarnya.

Jaja Ahmad Jayus. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Juru bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro, mengatakan pertemuan Ketua Mahkamah dan pemimpin Komisi Yudisial merupakan hal wajar. “Tapi tidak ada bocor-membocorkan informasi,” tuturnya.

Namun bukan Sumartoyo saja yang diadukan agar diperiksa majelis etik. Dalam surat kaleng itu, Forum Kantin Komisi Yudisial juga meminta majelis etik memeriksa Aidul Fitriciada Azhari. Ia dituding melanggar etik karena melamar sebagai calon hakim Mahkamah Konstitusi tanpa mengundurkan diri lebih dulu. Aidul enggan menanggapi tuduhan. “Silakan tanya Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat,” katanya.

Setumpuk masalah tersebut juga didengar Ketua Komisi Yudisial periode 2013-2015, Suparman Marzuki. Ia pernah menyampaikan langsung kepada Ketua Komisi saat ini, Jaja Ahmad Jayus, agar membentuk majelis etik guna menjernihkan persoalan.

Respons Jaja diragukan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Peradilan. Direktur Indonesian Legal Roundtable Erwin Natosmal Oemar, yang tergabung dengan Koalisi, menuturkan bahwa dalam pertemuan di ruang kerja Jaja di lantai 5 gedung Komisi Yudisial pada awal April lalu Jaja terkesan enggan menyelesaikan persoalan.

Saat itu, Erwin dan anggota Koalisi ingin membuat laporan tentang Sumartoyo dan Aidul. Informasi dalam surat kaleng yang juga sampai ke tangan Koalisi telah ditelusuri dan tampaknya benar demikian. Tapi, menurut Erwin, Jaja menyatakan baru akan memproses laporan setelah pemilihan umum selesai. “Apa gunanya kalau laporan dikirim tapi tidak diproses,” ujar Erwin.

Adapun Jaja belum memberikan tanggapan. Ketika ditemui di kantor Komisi Yudisial pada Rabu, 8 Mei lalu, ia menolak berkomentar.      

HUSSEIN ABRI DONGORAN, FRISKI RIANA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus