Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Masalah Hak Asasi Manusia atau HAM menjadi isu yang bakal dibahas dalam debat capres cawapres Pemilu 2024 pertama pada hari ini, Selasa, 12 Desember 2023. Namun, Ketua Komisi Pemilihan Umum atau KPU Hasyim Asy’ari belum memastikan isu pelanggaran HAM berat akan dimasukkan dalam debat capres cawapres.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tema pertama itu ada tentang pemerintahan, hukum, hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, penguatan demokrasi, pelayanan publik, dan kerukunan warga. Jadi, ya kalau ada topik (pelanggaran HAM berat) itu di topik debat pertama,” kata Hasyim, kepada wartawan di gedung KPU, Rabu, 6 Desember 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wacana pelanggaran HAM berat jadi isu debat capres cawapres kembali muncul setelah diusulkan Amnesty International Indonesia. Dikutip dari Antara, Amnesty International Indonesia menyampaikan tiga topik HAM kepada KPU agar dimasukkan dalam agenda debat capres-cawapres Pemilu 2024. Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid pada Rabu, 6 Desember 2023 lalu.
Dia mengatakan, ada tiga agenda terkait HAM itu di antaranya kebebasan berekspresi, agenda HAM untuk memastikan aparat keamanan memiliki akuntabilitas dan pertanggungjawaban, serta pelanggaran HAM berat. Usman menyarankan kepada KPU RI untuk mempertanyakan visi-misi dari tiga pasangan capres-cawapres mengenai pelanggaran HAM berat dalam debat.
“Terkait dengan penyelesaian pelanggaran HAM berat, termasuk juga pencegahan terhadap kasus pelanggaran HAM berat di kemudian hari,” kata Usman.
Pelanggaran HAM berat masih menjadi pekerjaan rumah alias PR bagi pemerintah. Disadur dari Koran Tempo terbitan Rabu, 11 Desember 2019, sepanjang periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM menilai pengungkapan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tak mengalami kemajuan.
Ketua Komnas HAM saat itu, Ahmad Taufan Damanik mengatakan lembaganya telah menyodorkan sebelas berkas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu kepada pemerintah. Namun, selama rentang 2014 hingga 2019, tak satu pun kasus tersebut diselesaikan oleh Jokowi. “Dalam lima tahun terakhir ini tidak ada kemajuan,” kata Ahmad kepada Tempo, di Jakarta, Selasa, 10 Desember 2019.
Ahmad Taufan menuturkan Komnas HAM di antaranya telah menyerahkan dokumen penyelidikan pelanggaran HAM berat seperti kasus pembantaian 1965, kasus Rumoh Geudong 1989, peristiwa Trisakti 1998, kasus Ninja, kasus Wasior, kasus Wamena, dan pembunuhan dukun santet di Banyuwangi pada 1998. Semua berkas kasus itu telah dilimpahkan ke Kejaksaan Agung. Namun Kejaksaan mengembalikan berkas kasus tersebut. Alasannya, ada perbedaan metode penyelidikan kasus.
Selanjutnya: Pelanggaran HAM era Jokowi, Haris Azhar: Jeblok
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Haris Azhar, malah menilai jeblok atas penanganan pelanggaran HAM masa lalu oleh pemerintah Jokowi. Dia menyebut kinerja pemerintahan Jokowi lebih buruk dari kinerja pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY. Alih-alih merampungkan kasus lama, Haris menyebut Jokowi justru menambah kasus pelanggaran HAM baru
“Kasus lama enggak ada yang selesai, malah diperburuk dengan pelanggaran HAM baru,” kata Haris.
Dia mencontohkan kasus kekerasan dan kematian mahasiswa pada saat demonstrasi menentang revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada September 2019. Lokataru Foundation juga mencatat ada pengekangan kebebasan berekspresi pada era Jokowi dengan cara mengriminalisasi sejumlah aktivis. Ada juga kasus kekerasan di Papua. “Yang harusnya dilindungi malah kehilangan haknya. Situasi HAM kita makin buruk,” kata Haris.
Setahun kemudian, Jumat, 11 Desember 2020, Koran Tempo kembali memuat berita tentang penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Satu tahun berlalu pemerintahan periode kedua Jokowi, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS menilai pemenuhan hak asasi manusia dalam kurun hingga 2020 semakin terancam. Ancaman itu hadir dalam bentuk legitimasi negara terhadap berbagai dugaan pelanggaran HAM di lapangan.
“Legitimasi negara terhadap pelanggaran HAM ini muncul dalam berbagai bentuk, baik yang sifatnya tindakan langsung maupun pembiaran,” katanya, Koordinator Badan Pekerja Kontras, Fatia Maulidiyanti, Kamis, 10 Desember 2020, bertepatan dengan peringatan Hari HAM Sedunia.
Dalam rangka memperingati Hari HAM Sedunia itu, KontraS menggelar evaluasi. Dalam evaluasinya, Kontras menemukan pemerintah belum serius menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM. Bahkan, pemerintah justru merangkul aktor pelanggar HAM berat. Catatan Kontras selaras dengan temuan Komnas HAM. Dari 12 pelanggaran HAM berat masa lalu yang mereka laporkan pada 2020, tak satu ditangani pemerintah.
Dilansir dari Majalah Tempo edisi Ahad, 9 Juli 2023, Komnas HAM mencatat ada 16 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Empat kasus sudah dibawa ke meja hijau lewat mekanisme yudisial. Yakni kasus di Timor Timur, Tanjung Priok (Jakarta), serta Abepura dan Paniai (Papua). Namun semua terdakwa dalam kasus itu divonis bebas. Para hakim pengadilan ad hoc HAM menilai bukti yang disodorkan Kejaksaan Agung dan Komnas HAM tak cukup kuat menjatuhkan vonis bersalah.
Penyelesaian di luar pengadilan melalui mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) juga menemui jalan buntu. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 yang mengatur pembentukan KKR sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006. Akibatnya, mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM dengan jalur serupa yang sudah berjalan di Aceh kehilangan pijakan hukum.
Selanjutnya: 12 kasus pelanggaran HAM berat yang masih harus ditagih kepada pemerintah
Berikut 12 kasus pelanggaran HAM berat yang masih jadi pekerjaan rumah pemerintah
1. Pembunuhan Massal 1965
Pada 2012 silam, Komnas HAM menyatakan ada.indikasi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Kasus pelanggaran HAM yang ditemukan meliputi pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, penghilangan paksa, hingga perbudakan. Dari dugaan-dugaan itu, Komnas HAM menemukan sebagian besar korban adalah anggota PKI dan organisasi lain yang masih berkaitan. Korban lainnya adalah masyarakat umum.
2. Peristiwa Talangsari Lampung 1989
Peristiwa Talangsari terjadi pada 7 Februari 1989. Pelanggaran HAM berat ini pecah karena ada penerapan asas tunggal Pancasila di masa Orde Baru. Saat itu, pemerintah, polisi, dan militer menyerbu masyarakat sipil di dusun Talangsari, Desa Rajabasa Lama, Way Jepara, Lampung Timur. Komnas HAM mencatat peristiwa Talangsari setidaknya merenggut 130 nyawa, 77 diusir, 53 orang dirampas haknya, dan 46 orang disiksa. Namun, jumlah pasti korban tidak diketahui.
3. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998
Peristiwa ini terjadi ketika masa Pilpres untuk periode 1998-2003. KontraS menyebut saat itu ada dua agenda politik besar, yakni Pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR pada Maret 1998 sejumlah aktivis, pemuda, dan mahasiswa diculik Gagasan mereka dianggap berbahaya dan dapat menghambat jalannya roda pemerintahan rezim Soeharto.
Pada 1 Oktober 2005, Komnas HAM membuat tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM berat pada peristiwa ini. Hasilnya. Komnas HAM menemukan adanya dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998. Merujuk laporan KontraS pada 2017, 9 orang korban penculikan berhasil ditemukan. Namun 13 orang korban lainnya masih dinyatakan hilang hingga saat ini.
4. Peristiwa Rumoh Geudong Aceh 1998
Tragedi Rumah Geudong merupakan peristiwa penyiksaan terhadap masyarakat Aceh oleh aparat TNI selama masa konflik Aceh (1989-1998). Peristiwa berlangsung ketika wilayah Aceh tengah dalam status Daerah Operasi Militer (DOM) tersebut. Pemerintah melalui panglima ABRI memutuskan untuk melancarkan operasi jaring merah. Dalam operasi ini, Korem 011/Lilawangsa menjadi pusat komando lapangan.
Hasil penyelidikan Komnas HAM mengungkap bahwa dalam peristiwa ini terendus indikasi pelanggaran HAM berupa kekerasan seksual, penyiksaan, pembunuhan, hingga penghilangan secara paksa. Berkas hasil penyelidikan itu telah diserahkan ke Kejagung pada 28 Agustus 2018. Namun, sampai saat ini tindak lanjut dari Kejagung belum juga selesai.
Majalah Tempo melaporkan, pada akhir Juni 2023 lalu, Presiden Jokowi secara resmi memulai proses pemberian kompensasi untuk korban dalam 12 kasus pelanggaran HAM berat. Peluncuran kebijakan ini ditandai oleh seremoni di lokasi salah satu kasus pelanggaran HAM berat, yakni di Rumoh Geudong, Pidie, Aceh. Ironisnya, seremoni itu diprotes sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Mereka menyesalkan pembersihan bekas lokasi penyiksaan warga Pidie tersebut dari puing.
Artefak sejarah yang seharusnya dijaga dan dilestarikan untuk merawat memori kolektif soal peristiwa memilukan itu justru disingkirkan demi kelancaran upacara yang dihadiri Presiden dan sejumlah menteri. Insiden pembersihan di Rumoh Geudong sejatinya mencerminkan kelirunya pendekatan Presiden dan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dipimpin Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md.
“Tak hanya salah menerjemahkan aspirasi warga dan keinginan korban yang berkeras mempertahankan bukti sejarah yang tersisa di Rumoh Geudong, tekanan yang terlampau besar pada soal pemberian kompensasi kepada korban menunjukkan kegagalan pemerintah memahami esensi dari penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di negeri ini,” tulis Majalah Tempo.
Selanjutnya: Jangan lupa Kerusuhan Mei 1998, Tragedi Trisakti dan Semanggi
5. Kerusuhan Mei 1998
Kerusuhan Mei 1998 terjadi pada 13 hingga 15 Mei 1998 di Jakarta dan sejumlah kota lain akibat krisis moneter. Tragedi ini adalah peristiwa kerusuhan yang melibatkan isu SARA. Selain penjarahan besar-besaran, disebut terdapat pula tindak kejahatan seksual terhadap perempuan. Korban dari kerusuhan tersebut didominasi oleh etnis Tionghoa. Sampai saat ini, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat ini tidak kunjung menemui titik terang.
6. Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II
Tragedi Trisakti dikenang sebagai peristiwa mematikan yang terjadi pada Mei 1998 jelang lengsernya Soeharto. Pada saat itu terjadi penembakan terhadap warga sipil, terutama mahasiswa. Tragedi ini menewaskan 4 mahasiswa.
Usai kasus Trisaksi, pada 13 November 1998, peristiwa penembakan oleh aparat kembali terjadi kepada mahasiswa yang berdemonstrasi memprotes Sidang Istimewa DPR/MPR dan menolak Dwifungsi ABRI di kawasan Semanggi. Tragedi ini dikenal dengan peristiwa Tragedi Semanggi I. Menurut data Tim Relawan untuk Kemanusiaan, jumlah korban tewas mencapai 17 orang warga sipil terdiri dari berbagai kalangan, dan ratusan korban luka tembak, dan terkena benda tumpul.
Pada 24 September 1999, rencana pemberlakuan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) kembali memicu demonstrasi besar dari mahasiswa karena dianggap bersifat otoriter. Penembakan terhadap mahasiswa pun kembali dilakukan dan dikenang sebagai peristiwa Semanggi II. Merujuk catatan KontraS menyebutkan 11 orang meninggal di seluruh Jakarta dan sekitar 217 orang mengalami luka.
7. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999
Peristiwa ini diawali dengan perburuan dan pembunuhan terhadap orang yang diduga melakukan santet atau praktik ilmu hitam. Hal ini dipicu oleh keresahan masyarakat terhadap isu tertentu di Banyuwangi, Jawa Timur. Sejarah kelam ini memakan korban jiwa hingga ratusan orang dan saat ini masih belum menemui titik akhir. Komnas HAM telah selesai melakukan penyelidikan terhadap kasus tersebut. Hasil penyidikan juga telah dikirim ke Kejagung dan Presiden pada 2019.
8. Peristiwa Simpang KKA Aceh 3 Mei 1999
Melansir KontraS, peristiwa Simpang KKA bermula dari kekerasan aparat TNI pada 3 Mei 1999 yang terjadi di Aceh Utara. Saat itu, tentara militer menembaki warga sipil yang berunjuk rasa lantaran ada penganiayaan terhadap warga. Peristiwa ini juga terjadi saat Aceh berstatus DOM. Tragedi ini mengakibat 23 orang meninggal dunia dan 30 orang luka-luka.
9. Peristiwa Wasior dan Wamena 2001
Peristiwa di Wasior, Manokwari, Papua, dipicu oleh terbunuhnya lima anggota Brimob dan satu orang sipil di perusahaan CV Vatika Papuana Perkasa di Desa Wondiboi, Distrik Wasior. Mengutip laman KontraS, sejumlah pasukan polisi dikerahkan untuk menangkap pelaku yang juga diduga mengambil enam pucuk senjata dari Anggota Brimob yang tewas.
Namun pengejaran pelaku oleh aparat disertai tindak kekerasan terhadap penduduk sipil yang tidak bersalah pada 13 Juni 2001 itu. Berdasarkan laporan KontraS, tercatat empat orang tewas, satu orang mengalami kekerasan seksual, lima hilang, dan 39 disiksa.
Sementara itu, kasus di Wamena terjadi pada 4 April 2003 yang bertepatan dengan Hari Raya Paskah. Pada saat itu, sekelompok massa tidak dikenal melakukan penyisiran ke 25 kampung di Wamena. Mereka mencoba membobol gudang senjata Markas Kodim 1702/Wamena. Dampak dari peristiwa itu, Komnas HAM mencatat 9 orang tewas dan 38 orang lainnya luka berat.
Tim Ad Hoc Papua Komnas HAM telah melakukan penyelidikan pro justisia terhadap dua kasus tersebut pada 17 Desember 2003 hingga 31 Juli 2004. Namun Kejagung sempat menolak hasil laporan Komnas HAM dengan alasan laporan tidak lengkap.
10. Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003
Mengutip KontraS, peristiwa ini berawal saat Desa Jambo Keupok diduga menjadi poros Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam operasinya, anggota TNI Para Komando (PARAKO) bersama dengan Satuan Gabungan Intelijen (SGI) melakukan tindak kekerasan terhadap penduduk sipil, seperti penangkapan, penghilangan orang secara paksa, penyiksaan dan perampasan harta benda.
Puncaknya terjadi pada 17 Mei 2003 sekitar pukul 7 pagi. Ratusan pasukan militer membawa senjata laras panjang dan beberapa pucuk senapan mesin mendatangi desa Jambo Keupok. Mereka diinterogasi sembari dipukuli dan dipopor senjata. Tidak jarang warga dipaksa mengaku sebagai anggota GAM. Akibat peristiwa itu, KontraS mencatat 16 orang penduduk sipil meninggal dan 5 orang lainnya turut mengalami kekerasan oleh aparat.
Selanjutnya: Pembunuhan Aktivis HAM Munir, siapa dalangnya?
11. Pembunuhan Munir 2004
Pembunuhan Munir Said Thalib, seorang aktivis HAM, terjadi pada 7 September 2004. Munir dinyatakan meninggal ketika dalam perjalanan ke Belanda di dalam pesawat Garuda Indonesia. Berdasarkan hasil autopsi, dalam tubuh Munir terdapat racun arsenik.
Dalam kasus ini, setidaknya baru tiga orang yang berhasil diseret ke meja hijau. Yakni mantan pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto, yang divonis 14 tahun penjara; mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, Indra Setiawan, yang divonis satu tahun penjara; dan mantan Deputi V BIN, Muchdi Purwopranjono, yang dinyatakan bebas.
Berdasarkan Pasal 78 ayat (1) butir 3 KUHP, penuntutan pidana hapus setelah 18 tahun untuk kejahatan yang diancam pidana mati atau seumur hidup, seperti pembunuhan berencana. Kasus tersebut pun terancam kedaluwarsa pada tahun ini. Sampai saat ini kasus pembunuhan Munir masih diproses di Komnas HAM. Kasus Munir belum juga diputuskan sebagai kasus pelanggaran HAM berat dan dalang utama kasus pembunuhan Munir belum juga terkuak.
12. Peristiwa Paniai 2014
Kasus Paniai merupakan kasus kekerasan sipil yang melibatkan anggota TNI dan mengakibatkan 4 orang meninggal dan 21 orang mengalami luka berat akibat penganiayaan. Komnas HAM resmi menetapkan yang terjadi pada 7-8 Desember 2014 ini sebagai pelanggaran HAM berat pada 2020 lalu. Seperti kasus pelanggaran HAM berat yang sudah-sudah, laporan Komnas HAM yang dikirim ke Kejagun, berkali-kali dikembalikan. Komnas HAM mencatat pengembalian itu terjadi pada 19 Maret dan 20 Mei 2020.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | HATTA MUARABAGJA | IHSAN RELIUBUN | KORAN TEMPO | MAJALAH TEMPO