Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tim Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat atau Pakem Kabupaten Garut menyebut penyegelan masjid Jamaah Ahmadiyah Indonesia di wilayah itu tak melanggar aturan. "Tindakan kami sudah sesuai ketentuan hukum yang berlaku," kata Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Garut Jaya P Sitompul pada Sabtu, 6 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mesjid Ahmadiyah itu berada di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu. Penyegelan bangunan berukuran 10 x 10 meter itu dilakukan pada Selasa, 2 Juli 2024, oleh tim Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem). Tim ini terdiri dari Kejaksaan, Kepolisian, TNI, MUI, Satpol PP dan Pemerintah Kabupaten Garut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Jaya, mesjid Jamaah Ahmadiyah itu dinilai melanggar Pasal 14 juncto pasal 23 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006, tentang kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Alasannya karena syarat pendirian mesjid tidak memenuhi ketentuan.
Jaya mengklaim keberadaan masjid itu dianggap mengganggu kenyamanan warga sekitar. Ia menyebut kegiatan Ahmadiyah dinilai melanggar Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008, Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011, tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat dan Fatwa MUI. "Saat ini kami terus melakukan pemantauan agar kondisi ketertiban dan kenyamanan masyarakat Garut tetap terjaga," ujar Jaya.
Konflik pembangunan mesjid Ahmadiyah di Cilawu ini telah berlangsung sejak 2013 lalu. Masyarakat setempat menolak berdirinya mesjid tersebut. Alasannya karena selain berbeda faham, jarak mesjid yang akan dibangun itu hanya sekitar 50 meter dari mesjid warga.
Upaya perdamaian pun telah beberapa kali dilakukan hingga di tingkat Pemerintah Kabupaten. Bahkan pada 2021, telah dikeluarkan Surat Edaran Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Garut, agar menghentikan pembangunan mesjid Ahmadiyah. "Hasil kesepakatan bersama tidak dijalankan warga Ahmadiyah," ujar Kepala Satpol PP Kabupaten Garut, Usep Basuki Eko.
Eko mengaku dirinya sempat dibohongi pengurus Jemaah Ahmadiyah. Pada tahun lalu, pembangunan mesjid kembali dilanjutkan dengan alasan hanya akan dijadikan tempat tinggal. Namun pada penyegelan kemarin, mesjid Ahmadiyah itu telah beralaskan karpet dan terdapat mimbar. "Laporan dari warga mesjid ini telah digunakan salat Jumat dua kali dan pengajian rutin. Padahal kesepakatan sebelumnya tidak boleh ada aktivitas," ujar Eko.
Eko mengaku penyegelan ini bukan kali pertama. Pemerintah Kabupaten Garut bersama tim Pakem telah menutup akses pembangunan mesjid itu pada 2021 lalu. Warga Jemaah Ahmadiyah di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang ini tercatat sebanyak 170 orang yang terdiri dari 70 Kepala Keluarga.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan penyegelan tempat ibadah Ahmadiyah menunjukkan diskriminasi dan pelanggaran serius oleh negara terhadap kelompok minoritas. Padahal menjalankan kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin konstitusi.
Usman menegaskan kebebasan beragama adalah hak fundamental yang harus dihormati dan dilindungi oleh negara tanpa kecuali. Setiap warga negara, kata Usman, berhak untuk menjalankan ibadah agamanya tanpa takut diskriminasi, intimidasi, atau ancaman.
“Kami mendesak pihak berwenang di Garut untuk segera mencabut penyegelan tempat ibadah tersebut dan menghentikan segala bentuk tindakan diskriminatif terhadap Jemaah Ahmadiyah,” kata Usman lewat keterangan tertulis, Kamis, 4 Juli 2024.
EKA YUDHA