Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LINGKUNGAN hidup mempunyai ciri sebagai barang publik, sehingga dapat menyebabkan dampak positif atau negatif. Manfaat dan mudaratnya dapat dirasakan semua orang, baik yang berkontribusi maupun tidak terhadap pemeliharaan fungsi lingkungan hidup itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada kondisi bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, pelakunya dapat tidak merasa ikut dirugikan. Misalnya para investor pemanfaatan sumber daya alam yang merusak lingkungan. Mereka tinggal di kota-kota besar. Atas dasar situasi seperti itulah ada istilah free riders atau para penunggang gratis. Yaitu orang-orang yang pasti bisa mendapat manfaat dari kondisi lingkungan hidup yang baik, misalnya tidak ada banjir yang dapat merugikan mereka, tapi mereka tidak bersedia ikut mencegah terjadinya banjir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sikap sebagai penunggang gratis itu semakin memungkinkan terwujud bila orang hanya mementingkan dirinya sendiri, tanpa, misalnya, mengendalikan dampak buruk akibat eksploitasi sumber daya alam. Apalagi dampak buruk itu tidak terjadi seketika. Contohnya hutan yang ditebang. Dampak buruknya terhadap lingkungan belum terjadi bila akarnya masih dapat mengikat tanah.
Perilaku buruk seperti itu sangat mudah dilakukan ketika norma yang dapat mengikatnya semakin memudar, yang disertai dengan lemahnya penegakan hukum. Hal demikian sedang terjadi di Indonesia. Dua kenyataan dapat menjadi tolok ukur atau faktor yang menjadi penyebab serta akibat yang ditimbulkannya.
Pertama, rendah dan semakin menurunnya indeks tata kelola Indonesia. Dalam penilaian kondisi tata kelola secara global, dengan nilai maksimum 100, nilai untuk Indonesia berdasarkan Corruption Perception Index 2022 dan 2023 sebesar 34 dan 34; International Country Risk Guide 48 dan 35; World Competitiveness Index 44 dan 39; serta Asia Risk Guide 32 dan 29.
Dalam catatan yang lain, pada periode 2004-2023 terdapat 1.479 kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam periode yang sama, sekitar 530 kepala daerah dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat serta dewan perwakilan rakyat daerah melakukan korupsi.
Dalam kondisi seperti itu, tampak tinjauan praktik korupsi dengan pendekatan hukum dan peraturan-perundangan tidak mencukupi. Lingkup pengertian korupsi dalam peraturan perundangan relatif terbatas untuk dapat menjangkau bentuk-bentuk transaksi yang dapat menghilangkan perlakuan setara atau keadilan bagi masyarakat luas.
Transaksi dalam korupsi sering kali dilakukan oleh orang-orang yang mengaku bahwa apa yang dilakukan itu keliru, tapi tetap dilakukan akibat hubungan struktural kelembagaan yang mengikat. Di Pelalawan, Riau, misalnya, seorang bupati yang terbukti terjerat korupsi didukung oleh 201 simpul para pelaku dari swasta, pemerintah, dan pemerintah daerah (Baker, 2020).
Ada pula kondisi seolah-olah membiarkan korupsi. Puluhan juta hektare hutan alam atau jutaan hektare hutan tanaman telah rusak dan tidak lestari, tapi tidak ada tinjauan fakta tersebut dari perspektif korupsi. Padahal sifat kejadiannya serupa dengan definisi korupsi menurut undang-undang, yaitu merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Para pelakunya memenuhi syarat melawan hukum akibat tidak menjalankan prosedur kerja yang diwajibkan serta memperkaya diri sendiri.
Kedua, kerusakan alam semakin tinggi. Sektor yang secara langsung menopang kondisi ekosistem seperti hutan, tambang, pesisir dan kelautan, serta berbagai bentuk wilayah perlindungan saat ini sudah mengalami kerusakan hebat dan memicu terjadinya bencana. Selain itu, terdapat ketimpangan penguasaan sumber daya alam. Sementara itu, lahan pertanian yang subur semakin menipis.
Statistik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 2022 mencatat 3.544 kejadian bencana. Pada 2023, jumlahnya meningkat menjadi 5.400 kejadian bencana. Dari semua kejadian bencana pada 2023 itu berupa banjir, cuaca ekstrem, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, serta gelombang pasang dan abrasi.
BNPB mencatat bahwa bencana yang terjadi sepanjang tahun lalu itu telah mengakibatkan 8.491.288 orang menderita dan mengungsi. Sebanyak 5.795 orang mengalami luka-luka, 275 orang meninggal, dan 33 orang hilang. Bencana juga merusak 47.214 rumah dan 1.291 fasilitas umum.
Namun fakta seperti itu tidak membangkitkan kepentingan politik untuk menjalankan pergeseran strategi pembangunan, misalnya dengan memperkuat pelaksanaan pendekatan ekosistem serta penguatan penegakan hukum untuk mengendalikan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Dalam hal seperti ini, memikirkan ulang mengenai instrumen manajemen operasional pembangunan menjadi kuncinya.
Dalam “Corruption Kills: Global Evidence from Natural Disasters” oleh Serhan Cevik dan João Tovar Jalles, 2023, disebutkan bahwa, dari 135 negara selama periode 1980-2020, ada bukti meyakinkan bahwa korupsi telah meningkatkan jumlah kematian akibat bencana, setelah negara-negara itu juga mengendalikan faktor-faktor ekonomi, demografi, layanan kesehatan, dan kelembagaan. Artinya, semakin tinggi tingkat korupsi di suatu negara, semakin besar pula jumlah korban jiwa akibat bencana alam. Pernyataan itu juga mengkonfirmasi kejadian di Indonesia berdasarkan angka-angka yang disebut sebelumnya.
Dengan memperhatikan kenyataan seperti itu, upaya menjaga kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup yang dapat menopang kesejahteraan warga negara tidak cukup hanya mengandalkan rasionalitas dan efek jera dari penegakan hukum. Selain apa yang telah ditunjukkan oleh Baker (2020) sebelumnya, dalam 16 kasus korupsi sumber daya alam oleh pemimpin daerah di Riau, para pelaku dan jaringannya justru mempunyai dukungan politik atas tindakan mereka. Dengan situasi seperti itu, berarti, para pendukungnya juga mendapat manfaat dari perusakan sumber daya alam.
Direktur Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) akhir tahun lalu menyebutkan bahwa bencana kerap mengenai kelompak masyarakat rentan, yakni mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Bahkan bencana sering kali menimbulkan kemiskinan baru. Namun kelompok masyarakat yang tidak berdaya secara ekonomi dan politik itu sering kali malah dipakai sebagai argumen penyangkalan. Eksploitasi sumber daya alam yang merusak lingkungan disebut akan menyerap tenaga kerja dari masyarakat yang tidak berdaya itu. Argumen seperti itu selama ini digunakan sebagai alat pembenaran, apalagi jika eksploitasi sumber daya alam mendatangkan dana investasi sangat besar.
Dalam bidang ekonomi ada istilah sunk cost fallacy atau sunk cost effect, yaitu pengambilan keputusan dalam keuangan atau investasi yang buruk—dalam hal ini karena merusak lingkungan yang sangat parah—tapi pembuat keputusan tetap menjalankannya agar waktu dan sumber daya yang telanjur diinvestasikan tidak sia-sia. Cara seperti itu biasanya dilakukan dengan sengaja membuat studi mengenai analisis mengenai dampak lingkungan sesudah atau bersamaan dengan pembangunan proyek. Dengan dalih kadung dibangun, konstruksi proyek tak bisa diperbaiki, kendati terbukti berdampak buruk bagi lingkungan hidup.
Dari perjalanan investasi pemanfaatan sumber daya alam selama ini, buruknya tata kelola sudah terbukti menghasilkan dampak negatif bagi lingkungan hidup, yang secara fisik mudah diketahui dari peningkatan jumlah bencana. Terbukti pula bahwa antara yang memberi dampak negatif dan yang terkena dampak tersebut tidak seimbang secara politik. Akibatnya, dampak lingkungan yang buruk cenderung diabaikan.
Maka, pemerintah semestinya tidak hanya mengatur dan mengendalikan para perusak lingkungan, tapi juga berperan strategis dalam melindungi kelompok masyarakat yang lemah. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga harus mampu membersihkan dirinya sendiri.
Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.