Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH lewat sekitar tiga bulan sejak Sandiaga Salahuddin Uno melangkahi makam pendiri Nahdlatul Ulama, Kiai Bisri Syansuri, di Jombang, Jawa Timur, pada Oktober tahun lalu. Tapi rasa kecewa Muhammad Imaduddin Akbar, 20 tahun, belum memudar. Awalnya menjagokan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Yogyakarta ini sekarang menarik dukungannya. “Saya menunda pilihan saya,” ujar Imaduddin kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Sandiaga mengunjungi makam Bisri Syansuri untuk memperingati Hari Santri Nasional. Bersarung hijau, bekas Wakil Gubernur DKI Jakarta itu terlihat melangkahi makam Kiai Bisri saat akan menabur bunga di pusara di sampingnya. Rekaman video peristiwa tersebut menjadi viral dan membuahkan kritik. Juru bicara Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Ace Hasan Syadzily, menuding Sandiaga hanya berziarah politik karena tak tahu etika dalam kegiatan menyekar itu. Belakangan, Sandiaga meminta maaf atas peristiwa tersebut.
Imaduddin tak otomatis mengalihkan dukungan kepada Jokowi-Ma’ruf. Dia juga tidak sreg dengan serangan yang dilancarkan tim nomor urut satu tersebut. Ia memilih “wait and see” sebelum menjatuhkan pilihan. “Selama ini, dua calon sama-sama mempersoalkan hal yang tak penting,” kata mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga tersebut.
Lompatan Sandiaga di makam itu ternyata juga tak disukai sebagian besar kalangan milenial atau pemilih muda. Hasil sigi Lingkaran Survei Indonesia Denny J.A. terhadap kaum milenial—mereka yang lahir pada 1980-awal 2000—pada akhir tahun lalu menunjukkan angka ketidaksukaan itu mencapai 85 persen di kalangan anak muda berusia 19-29 tahun. Sedangkan di kelompok umur 30-39 tahun sebanyak 69,6 persen. “Peristiwa itu menjadi salah satu alasan milenial meninggalkan Prabowo-Sandi,” kata Direktur Lingkaran Survei Indonesia Denny J.A., Adjie Alfaraby, kepada Tempo, pertengahan Januari lalu.
Menurut Hasanuddin, kaum milenial cenderung menganggap politik hanya untuk mereka yang “old school” atau generasi tua. Mereka juga tak peduli terhadap proses politik yang terjadi di negeri ini. Riset yang sama menemukan Generasi Y memiliki kesadaran cukup tinggi terhadap keberadaan partai besar seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Golkar, dan Partai Gerakan Indonesia Raya.
Menurut Adjie, kalangan milenial juga cenderung tak suka jika peristiwa keagamaan diseret ke ranah politik. Ini terlihat dari survei Lingkaran terhadap “Reuni 212” pada Desember 2018. Gerakan 2 Desember 2016 atau 212 merupakan aksi unjuk rasa mendesak Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dihukum karena dianggap menghina Al-Quran ketika berpidato dengan menyitir surat Al-Maidah ayat 51. Hasil survei menunjukkan mayoritas milenial menyukai gerakan tersebut. Tapi mereka kehilangan respek manakala aksi itu ditujukan buat mendukung pasangan Prabowo-Sandiaga.
Ketika Reuni 212 berlangsung di Monas, Jakarta, Prabowo hadir. Saat itu, sejumlah peserta juga meneriakkan gerakan “2019 Ganti Presiden” dan “Prabowo Presiden”. Sultan Ucok Sulaiman, 22 tahun, mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta, menganggap Reuni 212 seharusnya murni gerakan umat Islam yang tersakiti akibat ucapan Basuki. Anggota Dewan Pakar Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga, Drajad Wibowo, mengatakan Prabowo hadir di situ bukan untuk berkampanye. “Dia sebagai undangan,” ujar politikus Partai Amanat Nasional tersebut.
Menurut Adjie Alfaraby, hasil survei juga menunjukkan kalangan milenial memperhitungkan kedekatan Prabowo dengan pentolan Front Pembela Islam, Rizieq Syihab, yang disebut-sebut ingin menerapkan syariah. “Sebanyak 83 persen milenial tetap ingin negara Pancasila dan menolak ‘NKRI Bersyariah’,” ujar -Adjie.
Pendiri Youth Laboratory Indonesia—lembaga yang meneliti kaum milenial sejak 2009—Muhammad Faisal, mengatakan pemilih milenial atau Generasi Y memiliki karakter yang unik dibandingkan dengan Generasi X, yang lahir pada 1960-1980. Dia mencontohkan, kaum milenial cenderung apatis terhadap politik, tapi pandai mencari informasi, termasuk soal politik. “Mereka butuh fakta dan tak mau dipaksa memilih kandidat tertentu,” ujar Faisal, Rabu tiga pekan lalu.
Apatisme terhadap politik ini terlihat dari riset IDN Research Institute. Dalam laporan bertajuk “Indonesia Millennial Report 2019”, hanya 23,4 persen pemilih milenial yang menyatakan suka mengikuti berita politik. Sigi itu diadakan dengan kerja sama Alvara Research Center terhadap 1.400 responden milenial pada 20 Agustus-6 September 2018. “Milenial ternyata lebih berminat pada berita gaya hidup, film, dan teknologi, yang dianggap lebih penting bagi mereka,” ujar pendiri Alvara Research, Hasanuddin Ali.
Menurut Hasanuddin, kaum milenial cenderung menganggap politik hanya untuk mereka yang “old school” atau generasi tua. Mereka juga tak peduli terhadap proses politik yang terjadi di negeri ini. Riset yang sama menemukan Generasi Y memiliki kesadaran cukup tinggi terhadap keberadaan partai besar seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Golkar, dan Partai Gerakan Indonesia Raya. Uniknya, kebanyakan dari mereka justru tak terlalu berminat pada partai. Sebanyak 70 persen milenial cenderung memilih tokoh, bukan partai.
Hasanuddin mengatakan hasil survei juga menunjukkan mereka cenderung suka menggunakan Internet lebih dari tujuh jam sehari, tak loyal terhadap satu merek, gemar bertransaksi nontunai, serta bekerja dengan cerdas dan cepat. Menurut dia, karakter ini ikut mempengaruhi sikap politik kalangan milenial.
Pendukung calon presiden Prabowo Subianto mengikuti jalan sehat di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta, 2 Februari 2019. ANTARA/Dhemas Reviyanto
Sultan Ucok Sulaiman, misalnya, mengaku kecanduan Internet. Memiliki pekerjaan sampingan di bidang desain dan fotografi, dia berharap akses Internet bisa kian cepat dan murah. Hobinya ini membuat dia memperhatikan program kerja calon presiden yang bakal mendukung hobinya berselancar di dunia maya. “Ini jadi pertimbangan saya mencoblos calon presiden,” ujar Sultan.
Dengan jumlah diperkirakan 85 juta individu atau sekitar 44 persen dari total pemilih—yang berjumlah 192,8 juta orang—kaum milenial berusia 17-39 tahun itu menjadi segmen yang menggiurkan bagi kedua kubu. Tim kampanye mendekati mereka menggunakan cara yang sesuai dengan karakter generasi ini.
Kepala Divisi Pemilih Pemuda atau Milenial Tim Bravo-5—organisasi sayap pendukung Jokowi-Ma’ruf yang dikendalikan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan—Donny Gahral Adian mengatakan, dalam setiap acara yang digelar Bravo-5, tidak ada unsur memaksa agar memilih inkumben. Mereka cenderung menggunakan komika atau komedian agar suasana kampanye membuat nyaman kalangan milenial. “Kami bagikan apa yang sudah dilakukan Jokowi, termasuk Internet dan pencapaian pembukaan lapangan kerja digital,” tuturnya.
Anggota tim media sosial Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga, Raditya Putra Pratama, mengatakan kelompoknya juga memiliki kajian internal mengenai kaum milenial. Menghadapi Generasi Y, mereka menjadikan Sandiaga sebagai ujung tombak. Dalam setiap kunjungan ke daerah, Sandiaga menyempatkan diri bergabung dalam satu-dua acara yang berbau milenial. “Sandi kerap bercerita soal perjuangan dia menjadi pengusaha,” ujar politikus Gerindra ini. “Milenial sangat ingin menjadi pengusaha.”
HUSSEIN ABRI DONGORAN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo