Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM sehari, pangkat Bayu Wijokongko melambung beberapa tingkat. Ia yang tadinya anggota staf pemasaran di Grup Permai, kelompok usaha milik Muhammad Nazaruddin, sekonyong-konyong diminta mengisi jabatan Direktur Utama PT Pacific Putra MeÂtropolitan. Waktu itu, awal November 2011, Nazaruddin sudah menghuni tahanan Markas Komando Brigade Mobil, Kelapa Dua, Depok, sebagai tersangka korupsi proyek Wisma Atlet SEA Games XXVI Palembang.
Kursi direktur utama lowong setelah pejabat sebelumnya, Yulius Usman, menyatakan mundur pada Oktober tahun itu. Yulius sebenarnya hanya pejabat pelapis. Ia menggantikan Clara Maureen, yang keluar dari perusahaan itu pada Juni 2011. Setelah mereka keluar, Bayu ditunjuk Nazaruddin—mantan Bendahara Umum Partai Demokrat—sebagai direktur utama. Bayu sulit mengelak karena Nazaruddin mengancamnya. "Kalau tak mau, saya bakal dimasukkan ke penjara," ujar Bayu, Selasa pekan lalu.
Sebagai anggota staf biasa, Bayu kadang bertugas sebagai kurir. Dalam surat dakwaan Angelina Sondakh, bekas politikus Demokrat, yang tersandung kasus Wisma Atlet dan proyek universitas, namanya sempat disebut. Menurut jaksa, Bayu pernah disuruh Mindo Rosalina Manulang, atasannya, mengantarkan uang untuk seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang menunggu di Hotel Atlet Century, Jakarta.
Setelah "naik pangkat" jadi Direktur Utama PT Pacific, ia ketempuhan untuk menyelesaikan kontrak pengadaan 18 pesawat latih sayap tetap dan 2 link simulator di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia di Curug, Tangerang. Proyek itu diteken pada 2010 dan mesti selesai pada 2012. Nilai proyeknya Rp 138,8 miliar dari pagu Rp 140,6 miliar.
Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia Curug adalah lahan lama Nazaruddin. Dari sini, terpidana suap Wisma Atlet SEA Games Palembang itu kerap mendulang proyek. Lewat PT Anugrah Nusantara, ia menggenggam pengadaan 18 pesawat latih jenis sayap tetap dan 2 unit simulator pada 2008-2009 senilai Rp 114,miliar. Perusahaannya yang lain, PT Mahkota Negara, memenangi pengadaan dua pesawat latih jenis sayap putar dan simulator pada 2007-2008 dengan nilai kontrak Rp 44,07 miliar.
Pada 2010, giliran PT Pacific Putra Metropolitan yang beroperasi. Nama Nazaruddin memang tak tercantum sebagai pemilik. Di akta perusahaan, salah seorang pemiliknya adalah Unang Sudrajat. Ia juga ditulis sebagai komisaris utama perusahaan. Padahal, sebagaimana Bayu, pria ini sehari-hari karyawan di Grup Permai. "Nama saya hanya dipakai," kata Unang.
Kemenangan PT Pacific sudah dirancang sebelum tender dilaksanakan pada Oktober 2010. Menciptakan kompetitor di tender, Nazaruddin memasang juga PT Nuratindo Bangun Perkasa, PT Alfindo Nuratama Perkasa, dan PT Exartech Technology Utama—yang sama-sama di bawah bendera Grup Permai. Panitia lelang kemudian menetapkan Pacific, yang menawarkan pesawat Piper Warrior III dan simulator Piper Warrior III Level 5 FTD buatan Piper Aircraft, pabrikan asal Amerika Serikat, sebagai pemenangnya. Cadangannya, PT Nuratindo dan PT Alfindo.
Pada 16 Desember 2010, kontrak proyek diteken. PT Pacific diwakili direktur utamanya saat itu, Clara Maureen. Pihak STPI Curug diwakili pejabat pembuat komitmen, Arwan Aruchyat. Dalam kontrak disebutkan, dari 18 pesawat, 6 pesawat mesti didatangkan pada 2011. Sisanya didatangkan pada 2012. Semula proyek harus kelar pada Juli 2012. Namun kontrak diamendemen sehingga proyek bisa mulur hingga Desember 2012.
Setelah Clara Maureen dan Yulius Usman keluar, kini tanda tangan Bayu terbubuh di kolom direktur utama, termasuk pada sejumlah adendum kontrak dengan STPI Curug. Namun direktur utama sebenarnya tak lebih dari "boneka". Segala keputusan PT Pacific tetap ditentukan Nazaruddin dari balik terali besi.
Contohnya ketika PT Pacific menerima pembayaran termin kedua sebesar Rp 57,6 miliar pada Juni 2012. Setelah dikurangi pembayaran Âkepada vendor pesawat, sisa dana yang Rp 50 miliar diambil Nazaruddin. Bayu diperintahkan Nazaruddin mentransfer duit itu ke rekening Yayan Ramantha di Bank BCA pada 25 Juni 2012.
Ini membuat kas perusahaan melompong. Rekening perseroan sebesar Rp 20 miliar di Bank CIMB Niaga juga telah diblokir Komisi Pemberantasan Korupsi. Duit itu pembayaran termin pertama dari STPI Curug. Sebelum terendus KPK, Nazaruddin memasukkannya ke CIMB untuk membeli saham lewat CIMB Sekuritas.
Kosongnya kas otomatis mengganggu kontrak dengan STPI Curug. PT Pacific tak bisa menebus 12 pesawat latih yang tiba di Pelabuhan Tanjung Priok pada 27 Juli 2012. Perusahaan tak punya dana untuk membayar pajak penjualan atas barang mewah dan pajak penghasilan atas impor barang kurang-lebih Rp 21 miliar. Barang disegel di pelabuhan hingga Maret lalu. Kini 12 pesawat sudah berada di STPI Curug, tapi belum dirakit.
Tetap saja ini melewati masa kontrak, yang menyebutkan pekerjaan harus rampung pada Desember 2012. Pekerjaan selesai maksudnya pesawat tiba selamat di STPI Curug, selesai dirakit, dan bisa dioperasikan. Kejaksaan Agung menuding, hingga masa kontrak habis, pesawat yang diterima STPI Curug hanya enam unit. Sisa pekerjaan yang tak selesai dianggap merugikan keuangan negara. "Padahal negara sudah membayar lunas," kata Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Adi Toegarisman.
Karena itu, pada 24 Mei lalu, Gedung Bundar—merujuk pada bentuk gedung Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung—menetapkan tiga tersangka, yaitu Bayu Wijokongko serta dua pegawai STPI Curug, I G.K. Rai Darmaja dan Arwan Aruchyat, pejabat pembuat komitmen. Kejaksaan belum mengejar peran Nazaruddin. Dalam pemeriksaan pada akhir Mei lalu, Bayu menjelaskan soal peran Nazaruddin. Namun penyidik seolah-olah tutup mata. "Sampai sekarang faktanya belum ada," ujar Adi Toegarisman.
Nazaruddin, melalui pengacaranya, Rufinus Hutauruk, membantah terlibat dalam korupsi pesawat latih itu. Menurut Rufinus, kliennya bukanlah pemilik PT Pacific. "Tinggal dilihat di akta perusahaan siapa pemiliknya," katanya. Dia juga menyangkal bahwa keuntungan PT Pacific diambil Nazaruddin. Menurut dia, kalaupun ada transfer dari rekening PT Pacific, itu untuk pembayaran utang.
Keanehan perkara ini sebenarnya sudah tampak sejak Januari. Bulan itu, Bayu dan Unang Sudrajat diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai saksi untuk kasus pencucian uang Nazaruddin. Tiba-tiba orang suruhan Nazaruddin, Marisi Matondang, mendatangi Bayu dan Unang. Tanpa menjelaskan alasannya, ia meminta sejumlah dokumen proyek STPI Curug. Marisi juga datang ke Curug meminta dokumen proyek.
Menurut sumber Tempo, kasus yang membelit Bayu sekarang merupakan buah laporan Marisi atas perintah bosnya. Nazaruddin marah karena Bayu dan Unang, yang keluar dari PT Pacific pada September 2012, diperiksa KPK untuk kasus pencucian uang. Dalam perkara ini, Nazaruddin sudah menyandang status tersangka. "Ini kriminalisasi terhadap saksi," ujar Bayu. Ancaman Nazaruddin menjebloskannya ke penjara ternyata bukan main-main.
Adapun menurut juru bicara Kejaksaan Agung, Setia Untung Arimuladi, kasus Curug diusut "berkat laporan masyarakat". Setia tak menjelaskan "masyarakat" yang menyorongkan perkara ini.
Anton Septian, Tri Suharman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo