Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JATIBENING tak lagi indah bagi Dewi. Perempuan 28 tahun yang saban hari berdagang di pembatas jalan sisi ruas tol Jakarta-Cikampek itu mengalami penurunan omzet sejak terminal bayangan ditertibkan. "Sekarang sepi pembeli," katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Dewi tak sendirian. Ada dua pengasong lain di pembatas jalan yang sama di kilometer delapan arah Cikampek itu, tepat setelah pintu keluar tol Pondok Gede Timur, Bekasi. Di seberang jalan juga terdapat puluhan pedagang.
Akhir Juli lalu, Jasa Marga memasang pagar beton dan kawat besi yang membatasi jalan tol dengan jalan umum di sisinya. Selama ini, bus-bus yang melaju di jalan tol Jakarta-Cikampek bebas berhenti menaikkan dan menurunkan penumpang di pintu tol Jatibening. Berkali-kali Jasa Marga memagari area itu, tapi selalu dirusak.
Pemasangan pagar sempat memicu kericuhan di pintu tol pada Jumat dinihari, 27 Juli lalu. Marsan, 36 tahun, koordinator kelompok tukang ojek, mengatakan pada pukul lima pagi sekitar 50 tukang ojek mengawali aksi menjebol pembatas beton dan memblokade jalur selatan ke arah Jakarta. Aksi meluas ke sisi utara, arah Cikampek. Blokade berlangsung dua jam, diwarnai bentrokan tukang ojek dengan organisasi kemasyarakatan Front Betawi Bersatu dan Forum Betawi Rempug.
Menurut Marsan, sejak awal tahun, petugas Jasa Marga bolak-balik memasang pembatas beton, bolak-balik juga pembatas itu dijebol. Sebelumnya, aksi pasang-jebol pembatas tak sampai memanas. "Setiap kali tidak jadi karena selalu Jasa Marga mengajak berdialog," ujarnya.
Direktur Operasi Jasa Marga Hasanudin mengatakan terminal bayangan di Jatibening sudah ada sejak 1990-an. Ketika itu, bus-bus hanya menurunkan penumpang sambil membayar tol. Sebab, di titik yang sama saat itu terdapat gerbang tol utama.
Jasa Marga berkeras menertibkannya setelah gerbang tol utama dipindahkan ke kilometer 29 di Cikarang pada 2010. Dulu ada pintu tol yang membuat mobil terpaksa melambatkan jalan, tapi kini jalur itu mulus dilalui kendaraan berkecepatan tinggi. "Terminal bayangan mengganggu perjalanan karena berada di jalur utama," kata Hasanudin.
Penikmat rupiah di Jatibening memang tak sedikit. Tak kurang dari 300 tukang ojek beroperasi setiap hari di dua pangkalan ojek di daerah itu. Satu di sisi utara dan satu di selatan. Ada juga 14 penitipan sepeda motor dengan kapasitas mulai 50 unit sampai 400 unit.
Itu belum termasuk pedagang yang jumlahnya mencapai ratusan. Jasa Marga memperkirakan jumlah penumpang yang naik-turun di titik itu tak kurang dari 5.000 orang. Mereka berasal dari 936 angkutan umum yang setiap hari melalui jalan tol Jakarta-Cikampek.
Mencari uang di sini juga tak gratis. Dewi harus membayar "upeti" Rp 200 ribu setiap bulan, meski omzetnya yang cuma Rp 100 ribu sehari kini turun hingga separuhnya. Setiap bulan ada seseorang yang disebutnya "pengurus" datang menagih uang bulanan.
Tukang ojek membayar Rp 5.000 per hari, juga ke para "pengurus". Menurut seorang tukang ojek yang enggan disebut namanya, uang inilah yang mereka gunakan membiayai aksi akhir Juli lalu. Sebagian lagi disisihkan untuk "mengamplopi" petugas, polisi patroli jalan raya, yang kerap datang menertibkan bus-bus di wilayah itu.
Jasa Marga dan polisi membantah ada pungutan liar. "Tidak benar itu," kata Hasanudin. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Markas Besar Kepolisian RI Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar mengatakan tidak pernah ada petugasnya mengutip dari tukang ojek itu. "Kalau memang tukang ojek mengetahui, laporkan saja."
Kartika Candra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo