Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peningkatan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Indonesia pada 2017 ternyata tidak hanya berdampak positif. Meski memberikan kontribusi sekitar US$ 11 juta terhadap pemasukan negara, sektor pariwisata juga memberikan dampak negatif dengan munculnya kekerasan dan eksploitasi seksual anak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal ini disampaikan oleh Ending the Sexual Exploitation of Children (ECPAT) dalam diskusi catatan akhir tahun 2017, di Bakoel Koffie Cikini, Jakarta pada Kamis, 28 Desember 2017. Koordinator ECPAT Ahmad Sofian menyebut Indonesia menjadi salah satu negara tujuan para pelaku kekerasan dan eksploitasi seksual anak dengan menjadi wisatawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kita menyedot wisatawan sebanyak-banyaknya, tapi lupa melindungi destinasi wisata kita dari praktik-praktik kekerasan dan eksploitasi seksual anak," kata Sofian.
Dalam rentang Januari hingga September 2017, Sofian menyebut ada 107 orang yang dideportasi oleh otoritas imigrasi Indonesia. Mereka diduga sebagai pelaku pedofil.
Pelarangan masuk ke Indonesia tersebut dilakukan karena adanya rekomendasi dari pihak intelijen internasional. "Imigrasi itu bisa mencegah pedofil masuk kalau ada laporan dari badan intelijen internasional," kata dia.
Sementara untuk wisatawan lokal sendiri, Sofian mengatakan pihaknya tidak memiliki data. Sebab, dari pihak kepolisian tidak ada catatan berapa banyak pelaku kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. "Enggak ada, karena polisi enggak ada catatan juga," ujarnya.
Akibat tak adanya data tersebut, menurut Sofian, wisatawan lokal yang juga merupakan pelaku pedofil sulit diawasi pergerakannya. "Kan kalau ada bisa diawasi," kata dia.