Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam kelompok Badan Eksekutif Mahasiswa se-Indonesian Kerakyatan (BEM SI) menggelar aksi unjuk rasa di Patung Kuda Wijaya Arjuna, Jakarta Pusat, pada Selasa, 30 Juli 2024. Mereka menolak rencana revisi UU TNI dan Polri karena dianggap mengabaikan partisipasi publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua BEM Universitas Padjajaran, Fawwaz Ihza Mahendra, menceritakan aksi itu tadi sempat diwarnai saling dorong oleh aparat kepolisian. "Masa berkumpul di kawasan Monumen Nasional pukul 12.00 WIB kemudian berjalan menuju sini (Patung Kuda)," kata Fawwaz di Patung Kuda pada Selasa, 30 Juli 2024.
Aksi itu diikuti BEM beberapa universitas lain seperti UNS, UNNES, Universitas Paramadina, Universitas Trilogi, dan lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sesampainya di kawasan Patung Kuda, kata Fawwaz, aparat kepolisian langsung menutup jalan menuju arah Istana menggunakan penyekat beton. Hal ini membuat rombongannya memutar arah mencari jalan lain untuk berjalan menuju Istana.
"Jadi kami sebenarnya ingin berorasi di depan Istana," ucapnya. Aksi dorong-dorongan disebut terjadi sekitar pukul 15.00 WIB. "Bahkan beberapa teman kami sampai terluka sebenarnya kebeset kawat berduri," tuturnya.
Setelah dipukul mundur, mereka hanya berorasi di sekitaran kawasan Patung Kuda. "Massa kami sebenarnya tadi ada 100-an tapi sudah berangsur-angsur membubarkan diri," ucapnya.
Menurut Fawwaz, aksi dilakukan merespons langkah DPR yang saat ini sedang melakukan pembahasan terhadap rencana revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
"Kami berpendapat pembahasan RUU Polri dan RUU TNI adalah langkah yang keliru dan justru sarat akan berbagai persoalan yang seharusnya tidak perlu ada," tuturnya.
Menurut dia, proses pembahasan revisi UU TNI dan Polri dilakukan secara terburu-buru dan mengabaikan partisipasi publik. Revisi UU Polri disebutnya menambahkan daftar kewenangan yang tidak jelas kepentingannya dan justru menimbulkan tumpang tindih kewenangan.
Sementara terhadap revisi UU TNI, menurut dia, hal itu merupakan usaha menghidupkan kembali dwifungsi ABRI dan mematikan amanat reformasi dengan diperbolehkannya prajurit menempati instansi di luar dari 10 instansi yang sudah ditetapkan sebelumnya. "Hal ini membuka celah adanya intervensi terhadap masyarakat sipil," ucapnya.