Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Arek Malang Melawan SpongeBob

Film animasi garapan anak-anak muda Malang menembus televisi nasional. Kini ceruk bisnisnya mulai terbuka lebar.

16 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alkisah, ada seorang penjaga keraton bernama Rubuh yang ingin merasakan terbang seperti burung. Ia pun meminta bantuan rekannya, Songgo. Berbagai upaya dilakukan, dari menggunakan layang-layang sampai memakai payung. Begitu Rubuh berhasil meng­udara, petir menyambar dan ia pun terjatuh dengan tubuh gosong.

Film kartun berjudul Songgo Rubuh itu memang belum sepopuler SpongeBob atau Upin & Ipin. Tapi animasi dengan setting keraton Jawa tempo dulu itu membuat sekelompok anak muda di Malang harus bekerja keras menjelang waktu berbuka puasa, Senin pekan lalu.

Bermarkas di Jalan Kebon Jeruk V, Malang, 15 pekerja PT Digital Global Maxinema (DGM) ini berbagi peran sebagai animator, produser, sutradara, editor, dan penata suara untuk menyelesaikan film tiga dimensi yang diputar di MNCTV setiap Selasa sore itu.

"Rating-nya tinggi sejak diputar tiga bulan lalu," kata Astu Prasidya, Head of Visual and Concept Development PT DGM. Film tanpa dialog ini mencatat rating 2 dengan share 17. Meski panjang film tak sampai 10 menit, diperlukan dua pekan untuk membuatnya. Kini tengah disiapkan 26 episode hingga akhir 2012.

Studio animasi ini bermula dari aktivitas mahasiswa Jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Negeri Malang yang tergabung dalam Kdeep Animation 2005. Mereka memperdalam animasi secara otodidaktik, tapi bisa menjadi juara dalam festival seni Asiagraph 2008 di Tokyo melalui film berjudul A Kite.

Dengan modal pas-pasan, mereka memproduksi Catatan Dian, yang diputar di delapan televisi lokal, pada 2008. Tiga tahun kemudian, PT Digital Andalan Nusantara, perusahaan di bidang informasi teknologi, menyuntikkan modal Rp 2 miliar. Kerja sama ini melahirkan PT DGM. Sekitar Rp 700 juta digunakan untuk membeli alat produksi dan studio animasi, sementara selebihnya untuk ongkos produksi dua tahun.

Meski lumayan terkenal, hasil penjualan hak siar Songgo Rubuh tak bisa menutup biaya produksi. Namun, berkat film itu, DGM kebanjiran order pembuatan iklan, termasuk dari Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Kini arek-arek Malang itu mengincar pasar Asia dengan film Kuku Rock You. Film tentang kehidupan sekelompok ayam ini sudah dipromosikan melalui YouTube. "Trans TV dan MNCTV tertarik menayangkannya," ujar Astu. Mereka juga tengah menyiapkan Blap, Blip, Blup, Blep, Blob dan Baby Dian. Film Baby Dian merupakan reinkarnasi Catatan Dian.

Selain modal, hambatan untuk mengembangkan bisnis ini adalah sulitnya mencari penulis skenario. Beruntung, PT DGM menemukan penulis cerita komedi situasi untuk menyusun skenario. "Banyak studio animasi kesulitan membuat cerita yang bagus," kata Astu.

Ceruk di bisnis ini cukup terbuka dengan munculnya banyak stasiun lokal. Di samping itu, kesadaran masyarakat akan perlunya tontonan yang lebih membumi membuat pasar makin terbuka. "Penonton menunggu lama tak ada animasi karya anak negeri," ujar Direktur PT DGM Ahmad Rofiq.

Optimisme Rofiq terlihat dengan larisnya merchandise berupa boneka sejumlah karakter, termasuk Songgo, Rubuh, dan Dian. Sebanyak 800-an boneka ludes terjual dalam Bobo Fair di Jakarta, Juli lalu.

Persaingan di film jenis ini juga tergolong longgar. Di Tanah Air, hanya ada lima perusahaan serupa di Yogyakarta, Bandung, Denpasar, dan Jakarta. Sejumlah animator Upin & Ipin asal Indonesia ikut meramaikan persaingan dengan mendirikan dua studio di Jakarta.

Astu menyatakan siap bersaing dengan animasi luar negeri yang sudah lama membanjiri layar televisi kita. "Semakin banyak pemain semakin bagus, terpacu untuk maju," ujarnya. Secara kualitas, kata dia, film animasi karya PT DGM tak kalah dibanding produk impor. "Stasiun televisi memilih film asing karena harga," katanya. Produser Amerika Serikat dan Jepang bisa menekan harga menjadi lebih murah karena peredaran filmnya sudah mendunia.

Mereka bercita-cita mendirikan industri seperti The Walt Disney serta mengukuhkan Malang sebagai pusat animasi Indonesia. Berbagai infrastruktur disiapkan, termasuk menggandeng sejumlah studio animasi dan melatih siswa sekolah menengah kejuruan. Ke depan, mereka bakal mengembangkan aneka jenis cendera mata, seperti komik dan kaus. Tak lupa game untuk aplikasi Android dan iPhone tengah disiapkan. Itu sebabnya semua karakter film telah dipatenkan.

Rofiq berharap pemerintah melindungi dan menaungi industri animasi, seperti Malaysia yang membentuk lembaga setingkat menteri. Tentu impian ini tidak bakal terwujud dalam waktu dekat.

Tapi setidaknya pemerintah melihat kekuatan animasi lokal ini. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu mengatakan animasi berkarakter lokal bisa menjadi simbol obyek wisata suatu daerah. Karena itu pula pemerintah siap mengulurkan bantuan dana.

Tidak itu saja, Mari menyediakan situs Kementerian bagi para produser animasi untuk memamerkan hasil karyanya. "Kementerian Pariwisata siap menampung kreativitas para animator Malang," katanya di Malang beberapa waktu lalu.

Yudono Y. Akhmadi, Eko Widianto (Malang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus