Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hariadi Kartodihardjo
Guru Besar Kebijakan Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil menyatakan Presiden Joko Widodo meminta agar Rancangan Undang-Undang Pertanahan dapat rampung pada bulan ini sebelum masa pemerintahan periode pertamanya berakhir. Tapi masih banyak kalangan yang belum sependapat ihwal isi rancangan tersebut, berdasarkan hasil telaah mereka atas draf rancangan tertanggal 22 Juni 2019. Rekomendasi perbaikan dari berbagai kalangan telah diberikan kepada Panitia Kerja Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, dalam isi draf terbaru yang dikeluarkan pada awal September, ternyata masih dijumpai sejumlah kelemahan. Saya ingin menambah argumen tentang perlunya meninjau ulang isi rancangan itu, terutama untuk mencegah difasilitasinya korupsi melalui kelemahan isi pasal-pasalnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bila pada masa Orde Baru para politikus dan pengusaha korup bermain melalui struktur birokrasi negara, kini mereka bermain di jalur politik parlementer melalui regulasi yang sah. Ini disebut sebagai state capture. Keuntungan bagi para pelakunya bukan dari prestasi atau kondisi yang adil, melainkan isi regulasi yang dibuat untuk memihak langkah-langkah mereka. Karena dapat menyebabkan kerugian negara, menguntungkan kelompok tertentu, dan biasa dilakukan melalui gratifikasi, suap, atau pemerasan, state capture tergolong sebagai korupsi.
Untuk itu, tinjauan dampak korupsi atau corruption impact assessment (CIA) atas suatu rancangan undang-undang perlu dilakukan dengan beberapa tujuan. Pertama, mencegah terjadinya korupsi dengan menghilangkan konsep hukum dan peraturan yang tidak pasti serta mencegah adanya kesenjangan peraturan dan standar yang tidak realistis. Kedua, meletakkan fondasi bagi implementasi kebijakan antikorupsi dengan menganalisis dan menilai penyebab mendasar korupsi di dalam arena yang rentan sistem hukum. Ketiga, meningkatkan keandalan kebijakan antikorupsi melalui peningkatan transparansi prosedur administrasi dalam menyusun dan menegakkan peraturan.
Tinjauan atas draf RUU Pertanahan versi 1 September 2019 menunjukkan masih terdapat kelemahan mendasar yang secara langsung atau membuka peluang terjadinya korupsi akibat hal-hal berikut. Pertama, perbaikan RUU Pertanahan setelah ada masukan dan keberatan dari masyarakat dan sektor terkait masih bersifat parsial, sehingga rancangan itu tidak dapat dilihat sebagai produk hukum yang dibangun berdasarkan konsep yang utuh. Masih terdapat ketidaksesuaian kaidah, norma, dan pengaturan, baik terhadap Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001, terutama mengenai kebijakan pembaruan agraria, maupun Undang-Undang Pokok Agraria. Selain menyebabkan ketidakpastian hukum, hal itu berpotensi menghilangkan efektivitas dan efisiensi dalam implementasinya serta ada potensi pemborosan sumber daya.
Kedua, menetapkan ketentuan yang dapat menghapus pelanggaran hukum bagi pemegang hak guna usaha yang menguasai fisik tanah melebihi hak yang diberikan (Pasal 25 ayat 8 dan Pasal 102). Walaupun telah mendapat masukan, pasal pemutihan itu dipertahankan sejak draf awal tertanggal 22 Juni hingga draf 1 September. Di lapangan, lokasi HGU tumpang-tindih dengan izin pertambangan seluas 3,01 juta hektare, dengan izin hutan tanaman seluas 534 ribu hektare, dengan izin hutan alam seluas 349 ribu hektare, serta dengan area yang dilindungi seluas 801 ribu hektare, yang berpotensi menghilangkan masalah pidana dan perdata yang mungkin terjadi (KPK, 2017).
Ketiga, terdapat inisiatif yang berpotensi gagal mencapai tujuan dan boros. Pada Pasal 58 sampai 63, sistem informasi pertanahan kawasan dan wilayah terpadu hanya sebagai kegiatan teknis-administratif serta tidak dijadikan sarana mengidentifikasi tanah-tanah untuk menyelesaikan konflik dan yang berpotensi sebagai obyek reforma agraria. Apabila dalam sistem ini ditemukan ketidaksesuaian atau tumpang-tindih data, yang menyelesaikan hanya menteri yang membidangi pertanahan. Padahal kompleksitas kondisi dan konflik tanah di lapangan harus melibatkan banyak kementerian dan daerah.
Keempat, lemahnya perlindungan sosial dan ekologi dalam penetapan hak atas tanah serta kebijakan pertanahan sehingga berpotensi menghapus inisiatif konservasi tanah dan perlindungan jasa lingkungan. Kelima, tidak tersedia kesempatan dan instrumen untuk mengembalikan kekayaan (tanah) negara, juga kesempatan mencegah terjadinya kerugian negara.
Dari tinjauan CIA ini, revisi menyeluruh terhadap RUU Pertanahan menjadi sangat penting. Ini sekaligus sebagai upaya menetapkan dan mempromosikan praktik-praktik efektif pencegahan korupsi sejak dari isi regulasi.