Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Konsorsium Pembaruan Agraria menilai konsiderans Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUU Pertanahan) bermasalah meski pembahasannya diklaim telah mengacu UU Pokok Agraria dan TAP MPR Nomor 9 tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tapi kalau dilihat batang tubuh, tidak tercermin di hak pengelolaan. Hak pengelolaan itu bentuk pengaktifan kembali domein verklaring di UU kolonial belanda yang sudah dihapus di UU PA," kata Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika dalam konferensi pers RUU Pertanahan di Kantor PP Muhammadiyah Jakarta, Selasa 3 September 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurutnya, draft RUU Pertanahan justru memberi kekuatan penuh kepada kementerian dan pemda dalam memberikan izin lewat kewenangan hak pengelolaan. Hak pengelolaan itu dapat menerbitkan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai. "Itu powerfulnya pemerintah dengan menggunakan pasal hak pengelolaan," katanya.
Terkait hak guna usaha, Dewi menjelaskan, dalam UU PA terdapat prinsip antimonopoli swasta. Dia menegaskan tidak boleh ada penghisapan akibat hubungan hukum antara tanah dan manusia. Namun RUU Pertanahan ini justru memperlihatkan banyaknya pemutihan.
"HGU yang melebihi luasannya bukannya ditindak dan ditarik HGU-nya dihapuskan, tapi justru diberi impunitas atau pemutihan dengan pajak progresif," katanya.
Lebih lanjut dia menegaskan, bukannya menata ulang ketimpangan agar lebih adil, RUU Pertanahan justru memperparah ketimpangan karena memberikan banyak kemudahan bagi koorporasi dan membatasi ke masyarakat kecil.
Menurutnya, RUU ini tak memberi jaminan, dan justru mengonfirmasi prosedural yang sulit diperoleh masyarakat. Tak ada pula jaminan bagi petani, nelayan, masyarakat miskin di pedesaan maupun perkotaan. "Justru menurut kami ini RUU yang sangat liberal meskipun konsiderannya melengkapi UU Pokok Agraria, menjalankan pasal 33," katanya.